ii. Bukan Capulet Vs Montague

1.8K 237 20
                                    

Hampir dua puluh tahun silam, pada pagi hari yang cerah, dua pasangan muda-mudi yang bersahabat sejak kecil memutuskan untuk menggelar resepsi pernikahan di hari yang sama.

Dua tahun kemudian, mereka ternyata melahirkan di hari yang sama. Hari itu, mereka memutuskan kalau jika anak mereka sepasang, mereka harus menikah di kemudian hari agar persahabatan mereka tak akan pernah putus sampai kapan pun.

Delapan belas tahun kemudian, kedua anak yang dilahirkan di hari yang sama itu duduk berhadapan di sebuah meja restoran berbintang dengan pencahayaan yang luar biasa bagus.

Juli mengetukkan ujung jemari kakinya yang dibalut oleh flatshoes beludru berwarna biru pucat di lantai restoran.

“Mana sih?” katanya tak sabar.

Jadi, orang tua Juli—Carlo dan Leta—juga orang tua Romy—Taga dan Mona—mengatakan kalau mereka akan makan malam bersama di restoran Italia yang super mewah ini tetapi setelah hampir setengah jam Romy dan Juli menunggu, dua pasangan heboh itu tidak juga datang.

“Kayak nggak tau mereka aja.” Jawab Romy santai sambil memakan kentang goreng yang ada di atas meja.

Juli menghela nafas. Memang benar. Kalau sedang ada acara begini, mereka akan membuat Romy dan Juli datang lebih dulu bagaimana pun caranya, kemudian mereka akan terlambat selama berjam-jam, dan setelah Romy dan Juli memutuskan untuk pulang lebih dulu, mereka akan mengatakan kalau mereka sudah di perjalanan. Mereka berempat memang orang-orang paling gigih dalam menjodohkan Juli dan Romy.

Ngomong-ngomong, hari ini Romy luar biasa tampan mengenakan pakaian formal.

Juli? Yaaah, cukup lebih cantik dari biasanya dengan dress selutut tanpa lengan berwarna serupa dengan sepatunya. Intinya, tetap ada kata cukup di awal kalimat.

“Cantik.”

Juli mengerjap. Merasa jantungnya tiba-tiba jatuh ke lantai. Apa Romy membaca pikirannya atau sesuatu? Tapi –

“Langitnya.”

Juli menelan ludah.

Bodoh.

Perempuan itu lalu mengikuti arah pandang Romy dan mendapati langit gelap berbintang di atas sana. Juli tahu Romy suka sekali bintang. Dulu, ketika mereka masih kecil dan belum mengenal benci atau cinta, mereka adalah sahabat yang tak terpisahkan. Juli tahu semua tentang Romy. Begitu pun sebaliknya. Tapi, setelah mereka semakin besar, mereka mulai sadar—lebih tepatnya, Juli mulai sadar—kalau tidak pernah ada persahabatan di antara lelaki dan perempuan tanpa diganggu perasaan. Dan, Juli lah yang lebih dulu terjatuh untuk Romy sehingga memutuskan untuk mulai mengurangi intensitas kedekatan mereka. Romy sendiri biasa saja menanggapi hal itu dan melakukan apa yang dilakukan anak lelaki pada umumnya. Olah raga, main band, dan punya pacar.

Romy memang sudah beberapa kali ganti pacar sejak masuk SMA. Dan, Miranda adalah yang terbaru. Miranda cantik, pintar juga. Cocok dengan Romy. Dan Juli benci kenyataan itu.

Romy tidak peka.

Seharusnya dia sadar kenapa Juli memutuskan untuk menjauh.

Tapi lelaki itu tetap saja bertingkah seperti sebelumnya.

“Dingin?” tanya Romy membuat darah Juli berdesir.

Bodoh.

Romy hanya bertanya dingin atau tidak. Kenapa pula reaksinya berlebihan begitu.

Ngomong-ngomong, Romy bertanya karena tempat duduk mereka adalah di atap, jadi tempatnya terbuka. Karena itu juga bintangnya bisa terlihat.

Juli menggeleng. “Udah minum obat sebelum ke sini.”

Romy mengangguk mengerti. “Bilang aja kalau dingin.”

“Hmm.”

Juli menghela nafas.

Iya, Romy terlalu baik. Padahal dia sudah punya pacar!

Romy terlalu baik. Dan Juli benci kenyataan itu.




[]

Bukan Romeo dan JulietTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang