Dearest,
I feel certain I am going mad again. I feel we can't go through another of those terrible times. And I shan't recover this time. I begin to hear voices, and I can't concentrate. So I am doing what seems the best thing to do. You have given me the greatest possible happiness. You have been in every way all that anyone could be. I don't think two people could have been happier till this terrible disease came. I can't fight any longer. I know that I am spoiling your life, that without me you could work. And you will I know. You see I can't even write this properly. I can't read. What I want to say is I owe all the happiness of my life to you. You have been entirely patient with me and incredibly good. I want to say that - everybody knows it. If anybody could have saved me it would have been you. Everything has gone from me but the certainty of your goodness. I can't go on spoiling your life any longer.
I don't think two people could have been happier than we have been.
- Virginia Woolf –
Yang pengen saya tulis kali ini, jauh lebih berat daripada tema sebelumnya tentang populasi. Apa ya? Mungkin lebih bikin depresi. Tapi rasanya tepat juga karena ini masalah yang sangat serius dan jarang orang ngasih perhatian lebih. So often, people pay attention when it's already too late.
Yang jadi pembuka itu adalah surat yang ditulis Virginia Woolf (salah satu literary idols saya) sebelum dia bunuh diri dengan menenggelamkan diri di sungai Ousse tahun 1941. Kalau ada yang pernah nonton The Hours (Nicole Kidman jadi Virginia Woolf dan menang Oscar buat Best Actress. Ada Meryl Streep dan Julianne Moore juga) atau baca bukunya, yang merupakan karangan Michael Cunningham dan menang Pulitzer Prize for Fiction tahun 1999, pasti tahu Virginia Woolf. Atau mungkin malah udah ada yang pernah baca Mrs. Dalloway, To The Lighthouse, The Waves, Orlando, atau Between The Acts? Anyway, Virginia Woolf ini bunuh diri karena ada suara-suara di kepalanya dan kalau menurut diagnosa sekarang, kondisinya bisa dimasukkan ke dalam kategori schizophrenia. Mungkin dia terlalu jenius karena karya-karyanya memang monumental.
Virginia Woolf bukan satu-satunya penulis yang memilih mengakhiri hidupnya. Ada Sylvia Plath yang memasukkan kepalanya ke oven terus dihidupin ovennya, lalu ada Ernest Hemingway yang nembak kepalanya sendiri, ada David Foster Wallace yang gantung diri, ada Ned Vizzini yang terjun dari gedung, ada Yukio Mishima yang bunuh diri dengan cara ritual tradisional Jepang. Itu cuma beberapa dari dunia literasi. Belum lagi orang-orang terkenal seperti Marilyn Monroe, Robbie Williams, Kurt Cobain, Chris Cornell, dan yang terakhir, Chester Bennington. Terlepas dari kontroversi yang mengelilingi mereka, dunia mencatat mereka meninggal karena bunuh diri. And may their souls rest in peace.
Meski cara mereka ngambil nyawa sendiri macem-macem (ada yang overdosis, ada yang gantung diri, ada yang nembak) rata-rata, ada satu kesamaan yang bisa saya simpulkan: mereka percaya, bunuh diri adalah solusi terbaik untuk keluar dari depresi. Mereka nggak bisa menemukan cara lain dan mengambil nyawa sendiri adalah satu-satunya jalan mereka bisa lepas dari depresi.
Beberapa hari setelah berita bunuh diri Chester Bennington, ada artikel di GQ (1) tentang bunuh diri dan menurut saya, ada beberapa poin yang penting untuk diketahui.
Salah satu baris artikelnya berbunyi:
According to the World Health Organization, more than 800,000 people take their own lives each year. In 2012 it was the second leading cause of death among 15- to 29-year-olds and, according to a 2014 British government report, it is three times as common in males, with rates highest for those aged 35 to 54. Because of the traditional role masculinity has played in society, explains Sam Challis, information manager at mental health charity Mind, "Men are less likely [than women] to talk about their feelings and get support. So it would be more common for a man to take his own life and for nobody to have known there was anything wrong."
KAMU SEDANG MEMBACA
KOLASE
RandomKolase merupakan kumpulan opini-opini akan berbagai isu yang menurut saya, Abiyasha, menarik untuk dibahas. Opini, tentu saja bersifat subjektif, dan Kolase pun tidak akan jauh berbeda. Isu-isu yang dibahas di Kolase tidak akan terbatas pada LGBTQ s...