Ciao a tutti,
Yawla, saya dateng-dateng udah sok-sokan pake bahasa Italia, hahaha. Anyway, saya mau minta maaf karena lama nggak di-update karena nggak nemu artikel yang cukup menggelitik buat dibahas. Yang bakal saya bahas kali ini sebenernya udah ada di pikiran beberapa minggu belakangan, tapi nggak ada kesempatan buat ditulis sampai sekarang. So, I hope you forgive me for the lateness of updating this work.
Kali ini, saya pengen bahas tentang bahasa, lebih tepatnya soal bilingual.
Akhir Agustus kemarin, saya nemu artikel di The Jakarta Post (1) yang ditulis oleh Marcella Purnama, seorang blogger dan penulis yang pernah mengenyam pendidikan dan tinggal di Melbourne. Nggak, saya nggak akan bahas siapa dia, tapi tentang tulisannya yang berjudul “Why using English doesn't make me any less Indonesian” yang menurut saya menarik banget.Sekarang nih, di Indonesia kayaknya udah sangat lazim orang menggunakan bahasa Inggris, terlepas apakah grammar/spelling yang mereka gunakan sesuai dengan kaidah bahasa Inggris atau nggak. Take a look at social media for a simple example. Tapi, di sisi lain, masih banyak juga masyarakat Indonesia yang nggak paham dengan bahasa Inggris karena belajar bahasa asing itu memang terrifying dan jadi momok kecuali memang mereka tertarik. Nggak bisa dipungkiri, beberapa istilah dalam bahasa Inggris udah merasuk ke dalam keseharian kita dipake oleh banyak orang.
Sayangnya, nggak sedikit yang berpendapat bahwa dengan menggunakan bahasa Inggris, seseorang dianggap nggak punya nasionalisme atau nggak cinta bahasa Indonesia. Saya pun seringkali mendapat opini seperti itu melalui cerita saya yang sebagian besar karakternya bule dan selalu menyelipkan bahasa Inggris. Sejak nulis di forum 6 tahun lalu, saya udah sering banget diprotes. Banyak yang bilang saya musti kasih terjemahan bahasa Indonesia buat mereka yang nggak ngerti bahasa Inggris, banyak juga yang dukung karena dengan menyelipkan bahasa Inggris di cerita saya, mereka jadi belajar dan rajin buka kamus. Bahkan setelah di Wattpad pun, saya masih mendapatkan komentar tentang penggunaan bahasa Inggris di cerita saya. Lalu, apakah karena itu, saya nggak nasionalis dan nggak cinta bahasa Indonesia?
Mbak Marcella ini nulis buku dalam bahasa Inggris sementara target pembaca dan pasarnya adalah orang Indonesia. Alasan Mbak Marcella adalah dia udah nggak bisa lagi mengekspresikan dirinya dengan baik dalam bahasa Indonesia. Dia dapet pertanyaan macem-macem kenapa milih nulis dalam bahasa Inggris. Kemudian dia nanya, apakah dengan menggunakan bahasa Inggris, lalu dia dianggap kehilangan identitasnya sebagai orang Indonesia? Atau apakah dia mengkianati bahasa ibunya? Ada yang berpendapat Mbak Marcella ini memalukan karena sebagai penulis, dia nggak bisa nulis dalam bahasa Indonesia, dan ada juga yang berpendapat bahwa itu hal yang jelek. Tapi, Mbak Marcella juga bertanya, kenapa jelek? Bahasa itu ‘kan cara saya mengekspresikan diri, apakah karena pakai bahasa Inggris, saya berhenti jadi orang Indonesia?
Pertanyaan yang menarik ‘kan? Apakah iya, hanya karena seseorang nggak menggunakan bahasa ibunya, orang lantas berhak mengecap dia nggak cinta tanah airnya?Buat saya sih, pendapat seperti itu sama sekali nggak bisa dibenarkan. Nasionalisme seseorang nggak dinilai cuma dari penggunaan bahasa. Sam halnya kayak ada orang yang lebih milih makan steak dibanding nasi goreng. Apakah orang itu bisa dianggap nggak nasionalis cuma karena milih makanan barat daripada makanan Indonesia? Kalau memang nasionalisme cuma dinilai dari bahasa yang digunakan, berarti Pak Karno nggak nasionalis dong? Karena beliau seseorang yang cakap berbicara dalam berbagai bahasa. Think about it.
Saya nggak pernah kuliah di luar negeri dan bahasa Inggris saya juga nggak sempurna banget, saya masih sering salah secara grammar dan tenses. Cuma, saya juga nggak akan malu mengakui bahwa bahasa Inggris udah jadi bahasa ketiga buat saya setelah Jawa dan Indonesia. Saya bisa ngomong bahasa Jawa halus dan kasar (di rumah saya pakai bahasa Jawa halus ke Bapak, tapi pakai bahasa Jawa campur ke Ibu, nggak tahu kenapa) dan saya jelas bisa ngomong dan nulis pakai bahasa Indonesia. Saya pun bisa dibilang lancar menulis dan bicara dalam bahasa Inggris meski nggak sempurna karena saya nggak mendalami bahasa Inggris secara formal meski selama 9 bulan, saya kursus di sebuah lembaga bahasa Inggris selepas SMA. The rest? Bisa dibilang saya belajar bahasa Inggris secara otodidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOLASE
RandomKolase merupakan kumpulan opini-opini akan berbagai isu yang menurut saya, Abiyasha, menarik untuk dibahas. Opini, tentu saja bersifat subjektif, dan Kolase pun tidak akan jauh berbeda. Isu-isu yang dibahas di Kolase tidak akan terbatas pada LGBTQ s...