Beberapa hari lalu, saya ngobrol dengan seorang temen. Dia ‘ngadu’ tentang salah satu mutual friend kami yang menurutnya nggak cukup open-minded buat menerima satu fakta. Dia sedikit kecewa karena dikiranya, mutual friend kami ini cukup berpikiran terbuka. Intinya, dia kecewa aja gitu.And our conversation led me to pick this topic for the next chapter of KOLASE: open-minded.
Apa sih definisi open-minded itu? Menurut kamus Merriam-Webster:
Open-minded – adjective. Receptive to arguments or ideas, willing to consider different ideas or opinions.
Singkatnya sih, berusaha menerima segala sesuatu dengan pikiran yang lapang. Nggak judgmental dan langsung bersikap defensif jika ada pendapat atau buah pikiran yang nggak sesuai dengan prinsip kita. Pentingnya apa sih bersikap open-minded? Kan kalau kita udah nggak setuju, ya udah, ngapain dipaksa-paksa buat setuju? Bukannya itu jadi pemaksaan kehendak jatuhnya?
Menurut saya, open-minded itu pilihan kok. Nggak ada yang maksa buat menerima sesuatu yang berlawanan dengan prinsip yang dianut seseorang. Mau orangnya udah traveling ke 100 negara, tinggal di luar negeri berpuluh-puluh tahun, IQ-nya 130, jadi juara kelas, punya pekerjaan mapan dengan gaji berpuluh-puluh bahkan mungkin ratusan juta, kalau dia nggak mau berpikiran terbuka, ya itu pilihan dia. Gitu juga sebaliknya. Mau dia orang yang nggak pernah traveling, nggak pernah ke luar negeri, latar belakang pendidikannya standar, punya kerjaan yang biasa-biasa, tapi kalau dia mau berpikiran terbuka juga bisa aja. It all comes down to choice.
Saya nggak akan bilang bahwa saya sangat open-minded karena itu namanya kepedean. Let’s say … I’m fairly open-minded. Banyak faktor sih sebenernya kenapa saya bisa cukup berpikiran terbuka dengan banyak hal. Ketemu banyak traveler dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda; punya temen-temen yang punya pengalaman hidup lebih banyak dan lebih weowe dari saya; yang lebih pinter; yang strata sosialnya di atas maupun di bawah saya; yang usianya di atas, di bawah, atau sebaya dengan saya; yang punya keyakinan berbeda … semuanya adalah sedikit trigger kenapa saya selalu mencoba memandang sesuatu dari berbagai sisi. Tinggal di Italia selama 10 bulan, kemudian baca buku dari berbagai macam genre, dan kesenangan saya menulis, juga punya andil. Dalam kasus saya (dan mungkin banyak orang) jadi open-minded itu perkara proses karena lingkungan sosial dan pergaulan saya selama di Bali kebanyakan orang-orang dengan pikiran terbuka. Mungkin fakta bahwa saya gay juga jadi faktor karena di mana-mana, LGBTQ adalah kaum minoritas. In a way, it shaped my way of thinking that I should understand how majority of people think and see us. Di hosting organization saya di Italia dulu, saya bisa jadi diri sendiri tanpa takut di-judge macem-macem. Seperti saya singgung di chapter 4 tentang VOLUNTEERING, homoseksualitas saya justru nggak jadi pertimbangan apa-apa. Nggak pernah jadi bahan obrolan, nggak pernah jadi bahan gunjingan, apalagi diskusi. They didn’t see it as something wrong, or sick, or bad. Bahkan saya inget banget satu temen deket (pasangan yang ngirim saya ke Italia) pas saya undang ke rumah pertama kali buat makan malam, dia keliatan tersinggung dan heran kenapa saya nyembunyiin fakta bahwa saya gay dan tinggal bareng bf. It startled me knowing how positive their reactions were.
Anyway, saya sempet nyari beberapa artikel terkait open-minded dan artikel ini (1) cukup menarik ngebahas tentang perbedaan orang close-minded dan open-minded. Jadi, sebelum nyebutin 7 poin, artikel ini nulis gini:
Before you smugly slap an open-minded sticker on your chest, consider this: closed-minded people would never consider that they could actually be closed-minded. In fact, their perceived open-mindedness is what’s so dangerous.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOLASE
RandomKolase merupakan kumpulan opini-opini akan berbagai isu yang menurut saya, Abiyasha, menarik untuk dibahas. Opini, tentu saja bersifat subjektif, dan Kolase pun tidak akan jauh berbeda. Isu-isu yang dibahas di Kolase tidak akan terbatas pada LGBTQ s...