Dear readers,
It’s June and it means that LGBTQ community celebrates Pride Month.
Rasanya banyak dari komunitas LGBTQ di Indonesia (mungkin juga di negara2 lain di mana homoseksualitas dianggap sebagai hal yang tabu) yang nggak sadar atau nggak ngeh bahwa komunitas LGBTQ punya bulan yang spesial. Bukan hanya spesial, bulan Juni pun bisa dibilang bulan bersejarah bagi komunitas LGBTQ.
Let’s go back to the history of pride itself.
Pada tanggal 28 Juni tahun 1969, polisi melakukan razia di sebuah gay bar di New York City bernama Stonewall Inn. Para pengunjung bar melakukan protes terhadap razia tersebut dan juga malam-malam sesudahnya. Bisa dibilang, peristiwa Stonewall itu adalah titik balik perjuangan kaum LGBTQ terhadap hak asasi mereka, bukan cuma di Amerika, tapi juga di seluruh dunia. Setahun setelah peristiwa Stonewall, beberapa aktivis melakukan march di New York, Chicago, Los Angeles, dan San Fransisco untuk memperingati peristiwa Stonewall. Dari sinilah kemudian gay pride mulai dilakukan setiap tahun pada bulan Juni. Jadi, alasan utama kenapa Pride Month diperingati bulan Juni adalah karena peristiwa Stonewall ini.
Dari yang saya tahu, nggak semua gay pride dilaksanakan pada bulan Juni. Beberapa pride di negara-negara Eropa dilaksanakan pada bulan Juli/Agustus, seperti gay pride di Amsterdam—yang merupakan salah satu gay pride terbesar— yang jatuh setiap bulan Agustus. Gay pride di Brussels juga kayaknya nggak jatuh pada bulan Juni. Lalu ada apa aja sih di gay pride? Acara utamanya sih pawai aja, tapi biasanya selama seminggu sebelum pawai, ada acara-acara lain seperti peluncuran buku, diskusi, konser, dll. Nggak ada pride yang sama. Tujuannya apa ngadain pride? Bisa dibilang, pride ini sebagai ajang buat mendeklarasikan diri bahwa mereka bangga menjadi bagian dari komunitas LGBTQ, bahwa mereka nggak perlu lagi menyembunyikan seksualitas mereka. Nggak semua gay suka dengan pride, sih, karena memang acaranya sendiri bisa dibilang sangat riuh. Terlepas apakah ada komunitas LGBTQ yang suka atau nggak dengan pride, di negara-negara yang sudah menerima homoseksualitas, gay pride ini sesuatu yang besar. Meriah banget pokoknya.
Saya sendiri sempet ngalamin gay pride pas di Eropa, tepatnya di Barcelona tahun 2015. Sebenernya gay pride di Barcelona bukanlah termasuk gay pride terbesar (di Spanyol sendiri kalah dengan Madrid) tetapi karena waktu itu tujuan utama saya adalah Barcelona, makanya sekalian aja. Sebagai orang yang nggak pernah terekspos dengan rainbow flag yang gede-gede, apalagi ngalamin satu area sengaja ditutup buat kepentingan pride, saya ngerasa excited dan juga bangga. Mungkin bisa dibilang, gay pride di Barcelona saat itu semakin menguatkan niat saya bahwa saya nggak akan lagi menutupi homoseksualitas saya saat kembali ke Indonesia. Waktu itu saya udah 8 bulan di Italia dan udah sangat nyaman dengan seksualitas saya karena lingkungan yang sangat accepting, tapi jadi bagian sebuah gay pride—meskipun bukan yang terbesar—bagi saya seperti turning point. I wasn’t scared anymore to hide my sexuality. I was proud of being gay.
Waktu itu, tema di Barcelona adalah Stop Bullying, dan siapa pun yang hadir diminta buat memakai baju/aksesori berwarna ungu. Kenapa ungu? Karena warna ungu yang diambil dari rainbow flag mewakili spirit. Singkat aja saya jelasin soal rainbow flag buat yang belum tahu.
Jadi bendera yang menjadi lambang komunitas LGBTQ ini dibuat oleh Gilbert Baker, seorang artis dari San Francisco pada tahun 1978. Awalnya, warna pada rainbow flag ini terdiri dari 8 warna: merah, oranye, kuning, hijau, biru, ungu, pink, dan turkuois.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOLASE
RandomKolase merupakan kumpulan opini-opini akan berbagai isu yang menurut saya, Abiyasha, menarik untuk dibahas. Opini, tentu saja bersifat subjektif, dan Kolase pun tidak akan jauh berbeda. Isu-isu yang dibahas di Kolase tidak akan terbatas pada LGBTQ s...