2.

368 42 2
                                    

《ANGIN》

"Angin?"

Deg!
Aku berbalik, berakhir menelan ludah. Menatap tubuh tinggi yang hanya mengenakan handuk dipinggangnya.

Rambut sedikit panjangnya masih basah. Perut itu terbentuk dengan abs yang sempurna. Sekali lagi aku menelan ludah. Jauh dari yang aku bayangkan.

"Bagaimana caranya kabur dari sini?" Batinku sembari menatap sekeliling.

Dia terlalu tampan.
Dan satu hal lagi, terlalu besar untukku yang tinggi saja hanya 169cm ini. Tak sebanding dengannya.

"Jangan berpikir untuk kabur. Aku sudah membayarmu dengan harga tinggi. Aku bahkan memberimu bonus di muka." Desisnya tajam.

"Anjir! Mampus gua! Berakhir hidup seorang Angin Antara." Ngenesku.

Sekali lagi kuteguk ludah, merinding dengan nada mengintimidasinya. Sepertinya harapan terakhirku hanyalah berdoa semoga besok tubuhku masih utuh.

"Kemarilah." Pintanya.

Aku menghela napas panjang. Mengumpulkan keberanian, berjalan mendekat dengan ragu. Menyesal dengan keputusan sembronoku. Uang membuatku lupa dengan kenyataan.

"Duduklah." Ia menepuk kasur didekatnya.

Ah sial!
Tak adakah cara membatalkan semua ini?
Tapi aku juga butuh duit buat pulang. Benar-benar keputusan yang mengerikan.

"Kau sudah mandi?" Bariton berat itu membuatku merinding.

Mataku mengikuti gerakannya yang bangkit berdiri dan berjalan menuju sofa. Duduk nyaman di sana sembari meraih segelas minuman berwarna merah.

Mungkin itu red wine. Aku tak begitu mengerti dengan jenis minuman beralkohol. Orang tuaku tak pernah mengajariku masalah itu.

"Ya." Anggukku.

"Sekarang lakukan tugasmu." Terangnya saat ia duduk dengan kaki bersila di sofa dan bersedekap.

"Uhuk!"

Aku terbatuk, tersenyum ragu menatapnya. Tak tahu harus melakukan apa. Karena aku memang buta dengan hubungan seks.

"Boleh saya jujur?" Tanyaku ragu.

Aku mengunakan bahasa yang sangat sopan. Untung bahasa inggrisku sangat bagus. Dan aku tak ingin membuatnya berakhir marah. Menatap wajah itu menyelidik.

Mata tajamnya menatapku tak berkedip, mengangguk, mempersilahkanku untuk mengatakannya. Sepertinya dia orang yang sabar.

Ehem!
Aku berdehem, mengatur kegugupan, memilin jemariku gugup. Menahan napas, mengumpulkan keberanian untuk mengeluarkan suara.

"Sebenarnya...." Rasanya suaraku menyangkut di tenggorokan.

Alis tebal itu terangkat sebelah, seolah sedang menungguku mengeluarkan suara. Menggigit bibir bagian bawah. Wajah itu beribu kali lebih menakutkan.

"Saya masih amatir. Ini pertama kalinya buat saya." Jujurku, dan alis itu naik sebelah.

Itu lebih baik.
Karena aku tak ingin membuatnya kecewa dan bisa jadi jika ia tahu kalau aku amatir dia akan membatalkan kontraknya. Itu akan melegakan untukku.

Ia menurunkan kakinya yang disilangkan. Menghela napas panjang, bangkit berdiri. Berjalan mendekat padaku dengan langkah santai.

Tuhan.
Selamatkan aku.
Aku meneguk ludah, menatapnya tak berkedip. Menengadah saat ia berhenti di depanku.

SOULMATEWhere stories live. Discover now