10.

229 23 3
                                    

《ANGIN》

Lagi.
Sekali lagi aku membiarkan tubuh ini di sentuh dan itu oleh orang yang sama. Namun dengan perasaan yang mulai berbeda.

Aromanya, nafasnya bahkan helaan napasnya pun tak berubah. Semua sentuhan itu sama seperti sebelumnya namun kali ada hangat yang terasa sampai ke hati.

Apa semua ini sudah benar?
Apa aku tidak melakukan kesalahan? Kenapa perasaan itu harus kembali mengusik? Apa keberadaannya bukan mimpi buruk?

Aku takut.
Perasaan itu menjadi momok mengerikan yang enggan aku hampiri atau pun berani ku sapa saat luka terasa begitu menyayat hingga berbekas.

Helaan napas ini pun berat, menatap sendu wajah lelap itu yang terlihat begitu tenang seolah sebuah mimpi indah menghiasi tidurnya. Menelan semua kegelisahannya.

Aku meringis.
Beranjak berdiri dari sofa perlahan, merasakan persendian ini terasa nyeri begitu juga pinggang dan pinggul.

Tubuh ini tak setangguh dulu.
Mungkin seharusnya aku tak memaksakan diri untuk melayaninya sampai sepagi ini. Seluruh tubuh pun terasa remuk.

Kepala ku pusing.
Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Dan dia pun benar, aku akan membuatnya berpuasa dalam waktu yang cukup lama.

Sudahlah.
Aku harus menyingkirkan semua perasaan takut dan gelisah itu. Bukan kan semua orang itu tak selalu sama? Atau? Entahlah. Aku takut untuk memikirkannya.

"Sebaiknya melakukan sesuatu." Putus ku beranjak menuju dapur, mengabaikan rasa pusing yang menyerang.

Aku butuh beraktivitas saat otak tak mampu diajak kompromi. Saat semua gelisah enggan pergi meski diri ini mencoba untuk menyingkirkannya.

"Hem, sangat lengkap untuk tempat yang jarang di tinggali." Gumam ku menatap seluruh isi kulkas.

Oke!
Waktunya menyibukkan diri, menjauhkan semua pikiran buruk yang melintas bak kaset rusak. Mimpi buruk membuatku takut mengulangi cerita yang sama.

Wortel, kecambah, jamur dan irisan baso ikan tercampur jadi satu dalam tumisan bersama sosis ayam sebagai tambahan rasa kaldu. Memasaknya setengah matang.

Jamur krispi dan tahu goreng serta ayam krispi yang aku potong kecil-kecil untuk mempermudah saat makan. Terakhir sambal bawang yang aku giling.

Sudahlah.
Anggap saja dapur sendiri.
Meski sayuran di sini tak banyak macamnya seperti di Jakarta. Intinya makanan sehat.

Aku rindu tempe.
Beberapa bulan ini waktu ku hanya cukup untuk belanja di market terdekat. Bukan market yang biasa menyetok bahan makanan dari Indonesia.

Bertahan hidup.
Selagi bisa dimakan maka mulut dan perut ini tidak mempermasalahkannya. Hanya saja aku memang lebih suka memasak sendiri saat senggang.

Bruk!
Aku meringis, saat menahan diri untuk tidak tumbang dan berakhir menabrak bibir counter dan tersantuk pinggiran rak atas.

"Bangke! Sakit anjir!" Mengumpat cukup mengobati rasa kesal.

Segelas jus jeruk membasahi tenggorokan, mengatur detak jantung yang mendadak berdetak melebihi seharusnya. Sepertinya aku harus mulai menyerah.

"Oke. Aku memang tidak baik-baik saja." Putus ku pada diri sendiri.

Memahami diri sendiri adalah pilihan bijak. Aku menyudahi acara menguras energi ini. Merapikan semua peralatan dan sebaiknya kembali ke kamar.

Shit!
Kepala ku terasa berat. Segalanya terasa berputar dan perlahan menghitam. Membuat segalanya tak lagi bisa aku kendalikan.

SOULMATEWhere stories live. Discover now