Prolog

899 44 11
                                    

Langkah panjang itu berlari menyusuri jalan setapak. Mempercepat larinya ketika didepannya mulai tak terlihat. Mengabaikan rasa sesak didadanya.

"Sialan!"

Ia mengumpat, kehilangan jejak. Menghela napas berat. Merasakan jika harinya benar-benar berat. Berhenti tuk kemudian mengatur napas.

"Brengsek!" Umpatnya sembari menendang angin.

Kaki jenjang itu kelelahan, wajah tirusnya mulai penuh dengan peluh, rambut hitam pekatnya berantakan dan lembab karena keringat.

Ia berkacak pinggang, tubuh rampingnya semakin terlihat jelas. Menengadah menatap langit memperjelas lekukan wajahnya. Kulit putih bersihnya mengkilat terpapar matahari.

Berhidung mancung dengan bibir tipis merah merona, mata belok dengan bulunya yang panjang dan lentik. Beralis tebal. Jangan lupakan gigi gingsulnya dibagian kiri.

"Damm it!" Ia mengacak-acak rambutnya frustasi.

Dilangkahkan kakinya dengan lesu, menyusuri jalan setapak. Tak tahu harus kemana lagi. Karena ia tak lagi memiliki tujuan di negara orang.

"Arrrrrggggg!" Teriaknya meluapkan emosi.

"Bangsat!" Umpatnya.

Air mata mengalir membasahi pipi, ia menangis dalam diam. Merasakan jika harinya begitu sial. Bahkan itu di hari istimewanya.

"Hahaha."

Detik berikutnya ia tertawa, menertawakan hidupnya yang hancur dalam sehari. Sadar jika cinta itu hanya menyakitinya.

"Elu nggak bisa ngasih gua keturunan." Ucapnya.

Ia mengulang ucapan pacarnya yang ia temukan berselingkuh saat jarak membuat mereka tak bersama. Dan berakhir menjadi petaka.

Ingat dengan wajah santai itu. Ingat dengan ucapan menyakitkannya. Menyadarkan dirinya jika semua itu hanya sebuah pengkhianatan.

"Gua lebih tertarik dengan perempuan."

Kata-kata terakhir itu lebih menyakiti hatinya. Membuatnya benar-benar hancur. Sebuah alasan yang benar-benar membuat dirinya kalah telak.

"Bajingan!" Teriaknya kalap.

Prancis, menjadi momok baginya. Negara yang berhasil membuatnya merasakan apa itu sakit karena cinta. Membuatnya sadar jika cinta sejati itu bulshit.

Dan ia harus jadi gembel di negara orang karena terlalu naif dan bodoh untuk membiarkan dirinya di rampok. Dan sekarang ia kehilangan arah.

"Hidup gua tamat." Gumamnya lirih, menengadah menatap langit kota Paris.



Tiga bulan ia hidup menggelandang dengan mengandalkan uang hasil mengamen. Mendapatkan seorang teman yang akhirnya mau menampung dirinya.

Berbagi tempat tidur dan berbagi makanan. Bahkan mengamen di pusat kota Paris bersama. Merasakan suka duka bersama.

"Angin, kamu mau pulang ke Indo kan?"

Tubuh kurus itu memutar kursinya, menatap Angin sahabat barunya. Mata hazelnya berpendar penuh semangat. Berhidung mancung dengan garis wajah yang sangat jelas.

Rambut merah kecoklatan, beralis sedang dengan sudut mata yang tajam. Berbibir tipis merah jambu dengan leher jenjangnya yang sempurna.

"Hem." Jawabnya.

"Gimana kalo jual diri?"

Angin menyemburkan makanan yang sedang dikunyahnya, tersedak begitu saja demi ucapan itu. Melotot horor menatap sahabat barunya.

"Han, kamu nggak lagi ngigau kan?" Ia memastikan sembari menepuk dadanya yang sesak.

Hanzi menggeleng, mengeluarkan ponsel. Menunjukkan pesan percakapan yang baru saja dilakukannya dengan seorang teman lamanya.

"Grat bilang, kamu bisa dapat uang banyak dengan menjual dirimu. Kliennya ingin cowok posisi bawah dan Asia." Terangnya.

"Uhuk!"

Angin meletakkan makanannya di atas meja, tak ingin mati konyol karena tersedak. Menggeleng tak setuju dengan ide gila Hanzi.

"Ini kesempatan kamu. Grat bilang dia kaya. Kamu bisa minta bonus lebih." Bujuknya kembali.

Angin menelan ludah.
Ia memang gay tapi tidak pernah melakukan hubungan seks sama sekali. Ia masih tak berani melakukannya.

"Kurasa bukan ide yang bagus." Ia kembali menolak.

"Ayolah. Aku yakin kau akan bisa kembali ke Indo dengan cepat." Bujuknya lagi.

Angin menatap wajah itu lekat. Melihat keseriusan dan kesungguhan di sana. Menghela napas berat, memejamkan mata perlahan.

"Sial! Apa harus gua sampai jual diri segala?" Tanyanya dalam hati.

"Tapi gua pengen cepet balik ke Indo." Hatinya mulai berperang.

Di sisi lain Hanzi masih menatapnya, menunggu jawaban yang pasti. Ia hanya ingin sahabatnya tidak terjebak terlalu lama di Paris.

"Oke!" Putus Angin akhirnya.

-
-

Malam merambat mendekat, wajah itu menengadah, menatap hotel bintang tujuh didepannya dengan sendu. Menggigit bibirnya gelisah.

"Gua pikir nggak hari ini juga." Gumamnya, menyesal dengan keputusan sembrononya.

"Kamar 113." Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Melangkah masuk kedalam hotel, menemui seseorang di lobi dan mengikutinya dengan hati galau. Melarikan diri atau tetap bertahan.

"Tuan ada di dalam. Silahkan." Terang sang pelayan.

"Merci." Ucap Angin pada seseorang yang mengantarnya.

Ia kembali menghela napas, berharap dirinya tidak melayani kakek tua dengan perut buncit. Atau ia lebih memilih menerjunkan dirinya dari jendela.

Dan jika beruntung jasadnya akan diantarkan ke Indonesia untuk dikuburkan dan diberkati di gereja tempat ia biasa berdoa.

"Angin?" Bariton berat itu membuyarkan lamunannya.

"Mampus gua." Batinnya.

SOULMATEWhere stories live. Discover now