6.

238 28 11
                                    

《ANGIN》

Pernah kah kalian merasa jika kalian hidup di dunia yang mendadak tidak kalian kenali? Ketika segalanya terasa tidak kita mengerti tanpa sebuah sebab dan berakhir pada kenyataan lain.

Mata ini berkedip, menatap mereka yang satu persatu meminta maaf dan bertanya banyak hal mengenai ketidak datanganku kemaren ke kantor.

Otak ini ngadat, bergerak pada ruang ambigu yang menghasilkan ketidak pahaman yang seolah aku berpijak pada tempat yang salah. Kebingunan ini berlanjut sampai jam makan siang.

Jadi?
Hanya aku yang tidak masuk kantor?
Tapi dia bilang semua orang di liburkan?
Atau aku yang salah menangkap ucapannya dengan mengartikan yang berbeda?

Entahlah.
Perasaan bahasa koreaku sudah lumayan bagus meski masih banyak butuh penambalan di sana-sani.

Atau libur itu hanya berlaku untukku?
Kenapa harus begitu?
Bukannya peraturan kantor itu sangat ketat? Dan lagi pimpinan pusat itu sangat mengerikan.

Bruk!
Kujatuhkan kepala ini di atas meja, bekal makan siang yang dibuatkan olehnya untuk ku hari ini terasa tidak nikmat meski aku telah menghabiskan seluruhnya.

Ini tidak lucu.
Dan aku tidak ingin diperlakukan berbeda karena jika iya maka hanya akan membuat kecemburuan sosial.

Mereka itu Korea.
Pikiran mereka lebih sempit dari orang Indonesia yang bahkan pendidikannya standar. Jika ada sedikit yang berbeda maka bagi mereka itu salah.

"Angin? Kau baik-baik saja?"

Ku buka mata, mengintip MinJi yang duduk di depan dengan wajah khawatirnya. Membuat diri ini merasa bersalah karena hanya aku seorang yang kemaren bermalasan dengan absen masuk kantor.

"Hem." Gumamku lirih, tak bersemangat.

"Kau yakin?" Ia memastikan.

"Hem. Aku hanya sedikit pusing." Seruku sembari membenarkan duduk. Kini tak lagi meluruhkan badan.

"Wah, tumben amat kamu bawa bekal?" Ia menatap tak berkedip kotak bekalku yang sudah kosong.

"Lagi ingin saja." Jawabku, tak lupa memberinya senyuman tipis.

Apa perlu aku bilang kalau yang ngasih bekal itu kepala cabang kami? Bahkan dia yang memasaknya untukku? Detik berikutnya kepala ini menggeleng. Parno dengan ekspresi MinJi nantinya.

"Kamu yakin kemaren yang tidak masuk aku doank?" Tanyaku memastikan.

"Hem. Dan kamu tidak bisa di hubungi sama sekali. Tapi manager bilang kamu sedang sakit." Terangnya.

Aku menghela napas panjang.
Meraih air botolan, meneguknya hingga tandas. Mencoba melupakan semua hal tak masuk akal yang telah terjadi akhir-akhir ini.

"Hem. Sebaiknya kita kembali. Sebentar lagi jam makan siang selesai. Aku harus menyelesaikan desain untuk proyek terbaru." Seruku sembari beranjak.

Seni?
Duniaku sudah penuh dengan seni sejak aku dilahirkan. Papa pandai dalam dunia lukisan bahkan musik. Mama sangat jago dengan dunia memahat dan kerajinan tangan.

Aku?
Menguasai semua bakat mereka. Memanfaatkan semua itu untuk bertahan hidup dan mengejar ilmu hingga kuliah.

Tuhan itu adil.
Mereka mengambil semua orang yang aku sayangi namun masih menyisahkan banyak kebahagiaan untukku.

Bukankah kita hidup harus berpikir positif? Menjadi yatim piatu bukan berarti membuat hidup kita terpuruk, kan? Manusia diajarkan untuk berjuang.

Yah!
Dengan semua pemikiran itu aku bergerak meraih semua mimpi dengan tangan kecil ini. Meski berat jika kita menjalani dengan ikhlas maka akan selalu ada berkat di dalamnya.

SOULMATEWhere stories live. Discover now