8.

141 17 1
                                    

《ANGIN》

Sial!
Hati ini mendadak gelisah, menatap wajah lelap itu dengan perasaan tak tenang. Dan semua itu untuk beberapa alasan yang tak bisa di jelaskan.

Aku beranjak, kembali ke ruang tengah, menyelesaikan pekerjaan adalah pilihan terbaik untuk membunuh semua kegelisahan dan pikiran yang bergerak tanpa paksaan.

"Angin?"

Ah!
Aku lupa.
Malam ini aku masih melakukan panggilan untuk yang ke dua kalinya setelah tuh bos songong mematikan tanpa kesopanan.

"Ya?" Atensi ini kembali pada ponsel.

Aku duduk, kembali menghadap laptop. Membiarkan mantan istri sedikit terabaikan oleh tatapan namun tidak dengan obrolan. Mendengarkan suaranya yang renyah.

"Anak-anak sudah pada tidur?" Tanya ku.

"Sudah. Mereka sudah mulai masuk TK. Jadi banyak kegiatan di pagi hari, bermain di sore dan sedikit belajar di malam hari." Jawaban itu diakhiri dengan penjelasan.

"Baguslah. Aku akan kirim uang setelah gajian minggu depan. Lalu bagaimana dengan nenek? Beliau sehat?" Ucapan ini kembali diakhiri dengan pertanyaan.

Maharani Tanha.
Dia cantik dengan lesung pipi dan gigi gingsul yang membuatnya sangat manis saat tersenyum. Kalem, penyayang, pekerja keras dan sangat bertanggung jawab.

Aku sangat menghormati dan menyayanginya karena dia wanita yang sangat berjasa untuk semua kehidupan ku selama lima tahun ini. Bahkan mau menjaga anak-anak dengan ketulusan.

"Nenek baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan dirimu? Itu benar-benar dia?" Tanyanya.

"Hem." Gumam ku masih dengan kesibukan mengoreksi hasil laporan akhir.

"Takdir kalian sangat menarik." Ucapnya renyah.

"Kurasa begitu." Setuju ku.

"Tapi Angin, apa kau yakin semua akan baik-baik saja?" Nada Rani terdengar gelisah.

Aku menghentikan kesibukan, pandangan ini beralih pada ponsel. Melihat wajah khawatir itu dengan sebuah senyuman ketenangan, mengabaikan kegelisahanku sendiri.

"Semua akan baik-baik saja. Dan kau juga tahu kontrak ku di sini hanya tiga tahun." Aku mencoba menenangkannya.

"Sebaiknya kau harus hati-hati. Berpikir sebelum bertindak." Nasehatnya.

"Got it!" Angguk ku patuh.

"Sudah larut, aku harus istirahat." Pamitnya.

"Baiklah. Salam buat anak-anak dan nenek." Seru ku sebelum panggilan ini berakhir.

"Hem. Jaga kesehatan. Jangan biarkan aku terbang kesana hanya karena mengkhawatirkan mu." Ucapnya dengan nada ancaman.

"Siap madam." Hormat ku.

"Hem. Semalam malam. Miss you here." Panggilan dimatikan setelahnya.

"Malam. Miss you too, Rani." Balas ku menatap ponsel yang telah mati.

Aku menghela napas.
Meneguk segelas air putih, kembali fokus pada laporan sebelum memutuskan untuk tidur saat kantuk tak bisa diajak kompromi.

Laporan mingguan, bulanan dan tahunan pun kelar saat jam menunjuk angka jam sebelas malam. Dan mata ini tak mampu lagi untuk terbuka lebih lama.

"Sisanya besok saja." Seruku sembari menutup laptop.

Aku beranjak.
Berakhir memilih tidur di kamar untuk tidak membuatnya marah atau salah paham saat otak ini meminta memberi jarak.

SOULMATEWhere stories live. Discover now