"Yakin udah lengkap nih?"
Riva memicing curiga sembari menatap kertas di meja dan teman-temannya di depannya. Lelaki angkuh itu mengeluarkan aura kepemimpinannya sebagai geng terkuat dan berkuasa.
"Yakinlah, Riv." Jawab Damar memutar bola mata. "Lo cek deh, pasti lo nggak tertarik sama itu cewek!" Yakinnya menggebu.
Riva memicing tajam, semakin penasaran dengan kertas-kertas tersebut.
Teman-temannya mengangguk membenarkan. Lelaki itu pun meraih dan memangku kertas-kertas tersebut.
Foto terbaru gadis yang diincarnya terpampang di sana. Riva mengangguk puas. Mulai membaca kata demi kata dari kalimat yang tertera di sana.
"Jadi dia masih muda? Lima belas tahun?!" Riva mengernyit.
Mengangkat kepala dan menemukan teman-temannya mengangguk membenarkan. Lelaki itu manggut-manggut, lalu beranjak dari sana sembari menbawa tumpukan kertas itu.
Tampa menghiraukan mereka. Riva meletakkan kertas-kertas itu di meja. Lalu duduk dan melanjutkan membaca.
Riva manggut-manggut. Senyumnya terpantri indah. Tekadnya sudah bulat. Dia akan mendapatkannya apapun yang terjadi.
Lumayan. Anak dibawah umur pun tidak masalah. Toh dia seorang model. Tentu saja telah dewasa sebelum waktunya.
Lihat saja. Gadis itu akan tunduk padanya. Semua lelaki yang pernah dikenalnya tidak sebanding dengan Riva. Lelaki sang penguasa.
Riva mengernyit. "Anak pertama dari empat bersaudara?!" Gumannya. Lumayan banyak. Jarang sekali menemukan jumlah saudara dalam sebuah keluarga masa kini.
Ah, mungkin orang tuanya menyukai keluarga besar.
Senyum Riva semakin lebar. Merusak keluarga besar itu mungkin menyenangkan, batinnya senang.
***
"Riva, satu minggu lagi ulang tahun kamu." Riva menghentikan langkahnya. Decakan kesal keluar dari mulutnya. Dia kembali melangkah ke kamar tanpa peduli dengan teriakan wanita tersebut.
Riva menghempaskan tubuhnya. Memejamkan mata meskipun kedua matanya tidak bisa berlarut dalam tidur.
Hampir satu jam pada posisi tersebut. Lelaki itu membuka kedua mata dan menatap lemarinya. Mungkin tidak salah mencoba dan mengabaikan yang lebih perlu lainnya.
Dia mengangguk, lalu tersenyum setan.
Beranjak dari ranjang, lelaki itu turun ke lantai bawah. Keluar dari rumah dan mengeluarkan motor dari garasi.
Memicu laju secepat mungkin. Lelaki itu menantang angin malam dan kesunyian yang cukup mencekam.
Sesampainya di tempat tujuan. Riva menyuruh orang kepercayaannya memasukkan motor yang dibawanya.
"Masukkan ke dalam dan jangan seorang pun yang tahu!" titahnya dingin.
"Siap, bos!" Jawab lelaki bertubuh besar itu patuh.
Riva mengangguk. "Semua udah lo siapin kan? Dan semua peruntah gue udah lo ingat?"
"Siap!! Sudah, bos!!" Jawabnya lagi.
"Bagus!!" Riva meninggalkannya sendiri. Masuki sebua mobil dan mereka langsung melesat pergi.
Mobil itu berhenti di sebuah hotel kecil. Riva keluar lalu menatap beberapa saat hotel tersebut.
Hotel kecil yang tidak pernah dikunjunginya. Lelaki itu memiliki beberapa tujuan yang harus dicapai tanpa sepengetahuan siapapun.
Sesampainya di kamar hotel. Riva, membersihkan tubuhnya. Menggosok-gosok rambut dengan handuk lain. Menghadap jendela keluar yang diterangi lampu kerlap-kerlip, punggung Riva memperlihatkan tato ukuran jumbo di punggung hingga lengan. Warna-warni permanen itu melingkupi hampir seluruh tubuhnya.
Ketika dering handphonenya menghentikan aktifitasnya, Riva menoleh. Melangkah mendekat ranjang dan mendapatkan id penelpon.
Menghela nafas panjang, Riva menonaktifkan benda kecil tersebut. Lalu membuangnya ke sembarang tempat di atas ranjang.
***
Dikit banget yak? Iya kwkwkkww...
Lagi nunggu makanan. Makan rame-rame hehe 😂😂😂Jakarta, 14 Agustus 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Give Me Love [SHIC #2] [DREAME)
Teen FictionSequel of (S)He Is Crazy #1 Riva tidak percaya akan cinta. Baginya cinta hanya sepenggal kata yang tiada berarti. Hidup Riva terlalu kelam sehingga kata romantis itu tak berharga baginya. Baginya, semua hanya tipuan belaka. Tak ada yang berkesesung...