Hai..., Adel Riva ada nih. Balik lagi buat kalian semua.
Dukungannya jangan lupa ya 😆😆
Vote dan komennya biar afdol bacanya hehe.***
"Kamu mau makan apa?"
Adel menoleh, lalu mengetuk-ngetuk dagunya. Memilih makanan yang tersaji di meja besar persegi panjang.
Gadis itu duduk di antara kerumuan muda-mudi yang berkunjung di sana. Bukan kunjungan dari temannya. Melainkan RIva yang mendapat undangan pernikahan dari sekelasnya. Bertema party garden sehingga suasana di sana santai dan ceria. Penuhi warna di alam terbuka.
Entah sejak kapan Adel sering ikut serta pada acara-acara seperti itu bersama Riva. Yang pasti ketika RIva mengatakan jadwalnya di hari libur, Adel langsung mengatakan ikut.
Adel mulai nyaman dengannya. Meskipun tidak ada perubahan dalam diri RIva ketika di luar. Kaca mata lebari dan kemeja di masukkan ke dalam celana masih menjadi andalannya.
Lelaki itu rapi, juga wangi di setiap kesempatan. Nilai plus baginya, sehingga Adel tidak malu jalan berdua dengannya.
Meskipun awalnya dia menganggap norak, namun akhir-akhir ini Adel mulai menerimanya. Tidak malu jika lelaki itu menggenggam erat tangannya. Berdekatan hingga kulit mereka bersentuhan, Adel biasa saja menanggapinya.
"Kayaknya itu enak." Adel menunjuk lobster berwarna kemerah-merahan yang terletak tidak jauh di hadapannya.
"Yakin mau makan itu?"
"Iya." Adel mengangguk. Riva mengendurkan kernyitannya, mengangguk lalu menggeser makanan itu ke hadapan Adel.
Adel tersenyum lebar. Meneguk saliva tidak sabaran lagi hendak memakannya. Tetapi Riva menghentikannya, menggeser ke hadapannya dan membuka cangkang lobster raksasa tersebut.
"Amis lho, Del."
Adel berdecak. Mengerucutkan bibirnya. Dia sangat berniat menyantapnya, tetapi Riva malah menggodanya.
Masih dengan cemberut. Riva menyodorkan lobster tersebut kembali ke hadapan Adel. Mencopot sedikit dan memasukkan ke alam mulutnya.
gadis itu berbinar senang bukan main. Langsung memasukkan ke dalam mulutnya.
Riva yang siap sedia, meraih bumbunya dan menggeser ke hadapan Adel. Gadis itu semakin senang, makan lahap tanpa menghiraukan di sekitarnya.
Lelaki itu yang lebih mengutamakan kepentingan gadis itu, meraih tissue dan minuma. Semua tersedia lengkap di hadapan Adel. Sehingga tanpa sengaja, telinganya menangkap bisik-bisikan dai tamu lain.
Adel berusaha tidak mendengar. Menutup telinga dan melanjutkan makan. Namun bisikan itu semakin terdengar. Dia mengangkat kepala dan melotot pada mereka.
Riva menghentikannya. Menahan pergelangan tangannya sehingga Adel semakin kesal.
Menyuruh melanjutkan makan melalui tatapannya. Akhirnya gadis iti menurut. Mengunyah kesal dan menusuk daging lobster dengan garpu.
Selesai makan, Riva mengajak Adel mengelilingi taman tersebut. Bertemu dengan beberapa temannya dan saling menyapa.
Adel hanya tersenyum dan berbicara seperlunya saja.
Gadis itu memperhatikan Riva bergurau dengan teman-temannya. Lelaki itu sedikit berbicara, namun begitu, dia memiliki banyak teman.
Adel mendesis. Riva hanya berpura-pura sok cool saja. Dia lelaki brengsek yang menutup diri dengan penampilannya yang kuno.
"Kamu kenapa?" Adel mengumpat dalm hati.
"Nggak apa-apa." Jawab Adel mengangkat bahu. Menghela nafas panjang lalu menyodorkan cluth-nya pada lelaki tersebut. "Pegangin."
"Mau kemana?"
"Kamar mandi!" Balasnya jutek.
Riva mengangguk, hendak memanggil Adel, namun interuksi cewek yang menghampirinya membuat Adel makin kesal.
Hendak memutar tubuhnya, namun gengsinya terlalu tinggi. Sehingga dengan perasaan berkecamuk, Adel melangkah sembari menggerutu.
"Kamu bareng dia lagi?"
"Iya. Adel."
"Kenapa nggak ngajakin aku. Kita kan bisa pergi bareng ke sini."
Samar-samar Adel mendengar suara mereka di belakang.
Sekitar sepuluh menit di dalam toilet, Adel keluar dengan perasaan lega.
Merapikan rambutnya di depan cermin. Gadis itu menarik nafas panjang sebelum meninggalkan toilet.
"Oh, ini yang tadi?" Adel mengernyit. Segerombolan gadis-gadis menghampirinya.
"Iya, ini dia yang tadi."
"Iya. Sok ganjen banget ya."
"Manja. Minum aja harus di ambilin."
"Nggak punya tangan ya?"
"Mentang-mentang elo majikannya. Elo seenaknya aja nyuruh-nyuruh Riva?!"
"Lo pikir dia cinta mati sama elo?"
Adel menggeram. "Iya. Dia cinta mati ke gue. Semua yang gue pengen dia kabulin! Sampe dia mau gue peralat!" Ucapnya puas. "Kenapa? Ada masalah?!"
"Masalah lah."
"Lo harusnya gak semena-mena sama dia. Jangan mentang-mentang dia cinta, lo jadi semena ya! Lo pikir udah cantik banget?!"
"Kenapa lo yang sewot?! Suka sama Riva?!" Adel menyeringai. "Ambil sana! Bawa pergi!"
"Sombong banget lo ya!"
"Terserah gue dong! Mau gue bikin dia apa yang gue mau, lo nggak berhak ikut campur!"
"Sialan lo! Dasar bitch!"
"Gue bitch. Lo apa? Nenek moyangnya bitch!"
"Argh...,"
"Ayo. Berantem sini. Permaluin diri lo sendiri!" Adel tersenyum miring.
Segerombolan gadis itu menggeram marah. Mengumpat serapah pada Adel yang sudah keluar dari sana. Mengibaskan rambutnya angkuh dan tak merasa terbebani dengan mereka.
Adel memutar bola mata. Di depannya Riva menunggu. Berdiri tidak jauh dari toilet.Dia yakin lelaki itu mendengar pertengkaran mereka tadi.
"Kenapa malah berantem sama mereka"
Adel mendesis. "Emang gara-gara siapa gue berantem?! Kalo bukan gara-gara lo yang kebanyakan fans, gak ada yang gangguin gue!"
"Aku?"
"Maksud lo!"
"Masa sih?"
Adel mendengkus. Lelaki itu tersenyum tipis. Mengikuti Adel dari belakang, lalu menyelaraskan langkah merek. Riva menyodorkan cluth Adel. Tetapi gadis itu malah melotot. "Bawa sendiri!"
"Iya." Adel cemberut. Duduk di kursi tamu. Menengadahkan tangan dan dengan sigap Riva merogoh cluth tersebut. "Nanti nganter Dewi dulu bisa?"
Adel mendelik tajam. "Jangan pake fasilitas dari bokap gue!" Sindirnya sarkastik.
"Kita searah." Adel kembali mendelik. "Apartemen kita lebih jauh daripada rumahnya."
"Gue belum mau pulang!"
"Mau kemana lagi?"
"Terserah gue lah!"
"Tapi kasian Dewi!"
"Yaudah pulang duluan sekarang!"
Adel cemberut. Meninggalkan Riva yang masih duduk di sana. Moodnya langsung hancur.
"Yaudah ayo pulang."
"Nggak."
"Jadi mau apa sekarang?"
"Tau!"
***
Jakarta, 08 Februari 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Give Me Love [SHIC #2] [DREAME)
Teen FictionSequel of (S)He Is Crazy #1 Riva tidak percaya akan cinta. Baginya cinta hanya sepenggal kata yang tiada berarti. Hidup Riva terlalu kelam sehingga kata romantis itu tak berharga baginya. Baginya, semua hanya tipuan belaka. Tak ada yang berkesesung...