Rain

774 96 20
                                    

Ruangan serba putih itu memberikan kesan luas yang teramat, tidak banyak pula barang yang dapat dilihat disana. Hanya ada sebuah kursi lipat dengan seorang wanita tua diatasnya, didepannya ada meja kecil serta sofa kecil berwarna putih yang ditempati seorang gadis yang kira kira berumur 25 tahun.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam, wanita tua itu masih asik berkutat dengan tablet yang ada di pangkuannya.

"Namaku Yumi..." Wanita tua itu memulai percakapannya dengan lembut "Namamu Jiyeon bukan?" Dia melirik gadis muda yang ada dihadapannya, gadis itu masih diam tidak berkutik tapi tetap mengangguk sebagai jawaban. Wanita tua itu seorang senior paramedis jadi dia tahu betul apa yang dirasakan gadis dihadapannya ini sekarang. Menyiapkan mental untuk operasi saja sudah menguras tenaga.

"Ini sungguh mengagumkan, kau sudah mendedikasikan hidupmu membantu orang dimulai dari umurmh yang keenam belas" Yumi berbasa-basi dengan membaca data gadis itu dalam tabletnya. Jiyeon masih dipenuhi dengan kebisuannya. Wanita tua itu mengerti gadis itu pasti sudah tidak mau diajak berbasa-basi lagi. Dia tersenyum menatap Jiyeon.

"Menjadi yatim-piatu. Bekerja sebagai perawat. Hatimu sungguh mulia" Jiyeon masih dalam keheningannya, dia menahan sesaknya sedari tadi hingga ia mengusap matanya yang berair. Yumi menatap iba gadis itu, bagaimanapun juga Jiyeon harus sembuh.

"Baiklah, kau tahu jika operasi ini sudah berjalan tidak akan bisa dihentikkan. Cukup ceritakan semuanya, tidak apa jika kau menangis, marah, kesal. Kami membutuhkan itu semua" Lancar Yumi kemudian mengetuk tabletnya sehingga muncul sebuah bando yang terbuat dari stainless yang dibawa oleh sebuah robot yang entah dari mana datangnya.

"Pakailah ini" Yumi memberikan bando itu pada Jiyeon, diterima baik oleh gadis itu. Sesaat Yumi mengetuk kembali tabletnya, robot tadi berjalan mundur. Wanita tua itu mengamati bandonya yang sudah terpasang dikepala. Kemudian Yumi mendekatkan dirinya pada Jiyeon dengan bantuan kursi lipatnya. Dia kembali mengetuk lincah tabletnya membuat punggung sofa yang ditempati Jiyeon menurun kebelakang membuatnya lebih relax.

"Aku akan membantumu karena aku adalah penghubungmu dengan bando itu. Cukup jawab setiap pertanyaanku. Pertanyaan pertama, apa yang mau kau lupakan?" Jiyeon masih dalam keheningan, dia tampak berpikir, berpikir yang membuatnya sesak seolah melawan sesuatu yang dideritanya

"Jiyeon, apa kau mendengarku?" Jiyeon mengangkat kepalanya menatap Yumi

"Aku ingin melupakan hujan."

***

"Welcome to Seoul"

Tulisan itu ada dihampir semua papan besar di bandara. Banyak orang kesana kemari dengan kopernya ataupun tas ransel besar.

"Jiyeon-ah jangan sampai tertinggal" Ucap seorang wanita sekitaran umur 35 tahun yang menggenggam tangan kecil putrinya, putrinya sekitaran 13 tahun. Gadis itu masih asik mengamati kelilingnya. Ini pengalaman pertamanya pergi tanpa kedua orangtuanya.

Pergi jauh.

"Ibu dan ayah akan mengunjungiku kan?" Ibunya mengangguk dengan senyuman menyimpan semua kesedihannya dibalik senyuman itu. Kemudian sang ayah baru saja datang dengan sebuah kamera digital yang ia gantungi. Ia memberikan kamera itu dan mengalungkannya pada sang putri.

"Jika kau merindukan kami cukup lihat kamera itu, ada kami didalamnya. Jika kau melihat sesuatu yang tidak ingin kau lupakan, cukup memotretnya dengan itu" Ayahnya memeluk putrinya begitupun dengan sang ibu. Kedua paruh baya itu memaksa kehendak mereka untuk tetap berada disamping anaknya. Tapi mereka tidak sanggup. Mereka berdua berkecukupan untuk menghidupi putrinya, lantas apa yang membuat mereka mengirim putrinya jauh? Satu, kekejaman di kehidupan mereka. Berkecukupan, bukanlah hal yang membuat mereka yakin jika putri mereka akan bahagia bersama mereka. Hutang mereka dimana-mana. Hidup mereka tidak tentram, mereka memang berkecukupan, berkecukupan untuk memberinya makan. Tidak untuk yang lain.

Ficlet-One Shoot StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang