"Aku menyukai laut dan sangat ingin terus berada di dekat laut. Lima tahun yang lalu ketika Jaewon bertengkar dengan Baekho dan teman-temannya, saat itu kau membela Jaewon. Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Kupikir kau sangat bodoh, menjadi seseorang yang sangat menyedihkan hanya karena orang lain." Sehun menghela nafasnya berat kemudian menatap dalam mata Jiyeon, meyakinkan gadis itu bahwa semua yang ia katakan jujur dari lubuk hatinya,
"kau selalu begitu pendiam dan tenang, namun terkadang kau menjadi begitu emosi hingga aku tidak dapat menenangkanmu. Pada saat itu, aku melihatmu seperti laut. Aku selalu melihatmu selama ini. Seperti saat aku menyadari aku menyukai laut, kupikir begitu juga aku menyadari bahwa aku menyukaimu. Aku mulai tahu kapan kau marah, tertawa dan menangis." Sehun menunduk sebentar kemudian kembali menatap Jiyeon, "dan aku mulai merasakan bahwa kau mempunyai perasaan yang sama dengan ku. Apa aku salah?"
Sehun menarik lengan Jiyeon, membuat wanita itu mendekat pada Sehun dan pria itu memeluk tubuh kecil Jiyeon dengan satu tangannya. "Jika aku salah, kau boleh melepaskanku. Tapi jika tidak—" Sekarang tangan Sehun keduanya memeluk tubuh Jiyeon.
"Lepaskan!" Jiyeon mendorong Sehun hingga pelukannya terlepas, "aku tidak menyukaimu, Sehun!" Kemudian gadis itu pergi meninggalkan Sehun dengan tangisnya, menyisakan Sehun yang terdiam disana dengan wajah serius.
***
Jiyeon berhenti di depan pekarangan rumah kakek Sehun yang sudah ia tempati selama lima tahun ini. Ia ingat ketika dirinya baru pulang sekolah menemukan kakek terkapar di halaman dengan darah mengalir dari tangannya, Jiyeon menangis cukup hebat saat itu. Ia ingat yang hanya bisa ia lakukan hanyalah memeluk Sehun yang juga terkejut, terlebih Sehun adalah cucu kandung kakek. Tapi Sehun terlalu tegar untuk menenangi Jiyeon yang sudah sesegukkan, bergumam 'kumohon jangan ada lagi yang pergi'.
Langkah kaki Jiyeon membawanya masuk ke dalam dapur, kembali mengingat dimana ia mulai belajar memasak bersama kakek dan Sehun. Tertawa bersama, berbagi suka dan duka bersama. Pertahanan kaki Jiyeon sudah tidak kuat, ia merosot ke lantai menangisi semua kenangan.
"Pasti karena Sehun" Suara lembut itu keluar dari Kihyun, ia berjongkok sekitar lima langkah dari Jiyeon. Wajah putihnya tampak sangat menenangkan dengan senyuman yang ia berikan pada gadis itu. "Ceritakan saja perasaanmu padaku, tidak usah pikirkan aku".
"Kihyun-ah..." Isak Jiyeon, ia merasa menjadi seseorang yang bejat menyakiti perasaan Kihyun. Padahal ia sudah berjanji untuk terus menyukai Jaewon bahkan mulutnya berjanji di depan Kihyun dulu.
"Rupanya Sehun yang membuat wajahnu tertekuk seperti itu" Kihyun tersenyum di samping Jiyeon, melihat gadis itu sangat menggemaskan dengan wajah cemberut. Sependengaran Kihyun tadi, Jiyeon dan Sehun sempat melakukan perdebatan kecil mengenai 'perubahan', apakah perubahan merupakan sesuatu yang salah atau benar dalam diri kita.
Terlalu berat untuk dibahas dalam ukuran anak sekolah menengah seperti mereka. Tapi Kihyun datang untuk menemani Jiyeon, menenangkan gadis itu. Bukankah itu yang selalu Kihyun lakukan selama ini? Menenangkan Jiyeon ketika ia sedih melihat bahwa Jaewon hanya memikirkan Sora dan sebagainya. Tapi kali ini, Kihyun merasa kalah, ia tidak akan mendapatkan hati Jiyeon, sekarang Sehun alasan dibalik kecemberutan Jiyeon, bukan seorang Jaewon lagi.
"Perubahan itu hal yang merugikan semua pihak. Aku sudah berjanji untuk terus menyukai Jaewon, tapi jika itu berubah maka aku akan merasa bersalah."
Itu ucapan Jiyeon, Jiyeon ingat betul. Ia kembali menangis lebih sesegukkan. "Tidak mungkin aku menyukainya, aku baru bertemu dengannya lima tahun yang lalu. Sedangkan waktu yang aku habiskan dengan Jaewon, Sora dan kau lebih lama. Aku tidak mau mengkhianati janjiku".
"Begitu. Ini tentang perubahan itu lagi? Menurutku, perubahan itu tidak merugikan. Banyak pihak yang akan diuntungkan, tapi jika kau terus menyalahkan diri, kau tidak akan maju dan terus beranggapan bahwa perubahan itu salah." Nasihat Kihyun, jangan katakan bahwa Kihyun baik-baik saja. Ia sudah sakit sekarang, kembali disadarkan bahwa ia tidak akan mendapatkan hati Jiyeon. Ia sudah tahu bahwa hati itu dipegang Sehun, sudah semenjak lima tahun yang lalu.
***
Sehun dan Kihyun dipenuhi keheningan ketika mereka berdua baru saja pulang dari rumah sakit di Seoul untuk menjenguk Sora. Jiyeon belum dapat datang, perkuliahannya semakin memadat dikarenakan tahun ini adalah tahun kelulusannya.
"Ada sesuatu yang harus aku katakan, mengenai Jiyeon dan perasaannya" Kihyun menghentikan langkahnya menatap Sehun yang jauh lebih tinggi darinya.
***
Gadis itu tengah menjahit di kamarnya, dengan setelan baju tidur dan rambut yang dikepang mempercantik dirinya. Dirinya tersenyum hingga suara ketukan pada pintu kamarnya terdengar, memunculkan batang hidung Sehun disana.
"Boleh aku masuk?" Tanya Sehun sopan, untuk ukuran seseorang yang sudah mengenal satu sama lain selama lima tahun ini terlalu canggung. Mereka bahkan sebaya. Jiyeon mengangguk dan berdehem sebagai jawaban. "Aku sudah mendengar semuanya dari Kihyun."
Jiyeon tetiba saja gugup, ia melipat baju setengah jadi yang tengah ia jahit dan meminggirkan segala peralatannya. Menengok ke arah Sehun yang berdiri di sampingnya, bertumpu pada meja belajar milik Jiyeon, sedangkan Jiyeon duduk di lantai dengan kaki bersila.
"Tentang perasaanmu,"
"A-apa?" Gugup Jiyeon hingga terbata dalam ucapannya.
"Kau tidak perlu berbohong lagi tentang semuanya."
"Tidak" Ketus Jiyeon, masih menyangkal perkataan Sehun tentang perasaannya.
"Bukan hanya kau, tapi Sora juga" Jiyeon mendadak melemah, lagi-lagi hanya dengan sebutan Sora ataupun Jaewon, Jiyeon merasa tidak berdaya.
"Sora menyukai Jaewon..." Gumam Jiyeon sebenarnya dengan suara kecil, tapi Sehun terlalu peka dengan telinga lebarnya.
"Dan kau menyukaiku".
Sempet berdecih Jiyeon berkata, "kau terlalu memikirkan dirimu sendiri" sembari menunduk.
"Hanya itu yang dapat aku pikirkan ketika menyimpulkan semuanya. Apa aku salah? Ah benar, tunggu sebentar, aku akan memikirkannya kembali" Sehun menaruh tangannya didagunya, mengeluarkan pose tengah berpikirnya. Sedang Jiyeon menatap Sehun gemas dengan kepala miring seperti anak anjing,
"Apa kau masih memikirkannya? Tentang siapa yang aku sukai sebenarnya?"
"Tidak, aku masih berpikir bahwa kau menyukaiku. Tapi aku sedang memikirkan bagaimana cara agar kau mengakuinya" Jiyeon tersenyum mendengar jawaban Sehun, ia terkekeh sebentar kemudian terdiam ketika Sehun berjalan mendekatinya, "kau tidak akan menyangkalnya kali ini, kan?"
Saat ini Sehun sudah duduk di hadapan Jiyeon, matanya meneduh kala ia melihat Jiyeon mengusap air matanya yang entah sejak kapan gadis itu sudah menangis. Entah menangis karena kekehan tadi atau emosi dimana mereka berdua saling jujur untuk perasaan mereka saat ini, "boleh aku memelukmu?" Tanya Sehun.
Sebelum mendapat jawaban, Sehun menarik Jiyeon ke dalam pelukannya tersenyum lega karena Jiyeon akhirnya menerima pelukannya, meskipun disertai isak tangis dikarenakan Jiyeon masih memikirkan teman-teman masa kecilnya. Sehun juga heran mengapa ia begitu mencintai Jiyeon yang terlalu baik untuk orang lain dan tidak memikirkan dirinya sendiri.
"Kumohon, kau juga harus memikirkan perasaanmu juga, Jiyeon."
End.
Owh dah selesai ya, setelah sekian lama astaga. Maafkan aku, baru kekumpul niat dan ide buat cerita ini yang sempat stuck. Tolong kalo ada yang punya ide cerita, dm aku plis butuh banget ide huekk. Tapi udh pada ngerti ga sama cerita ini? apa terlalu komplikasi?? Maaf Sora sama Jaewonnya ga kuceritain lebih panjang, males say.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ficlet-One Shoot Stories
FanfictionKumpulan ficlet, drabble dan one shoot Cast: Park Jiyeon - Oh Sehun