-------------
"Ayah, besok Tera masuk sekolah kan, Yah?" sambil tiduran di paha Ayah, aku menatap mata Ayah berbinar.
Seperti janji Ayah 3 bulan lalu, ini waktunya untukku bersekolah. Beberapa anak seumuranku sudah sekolah, hanya aku yang belum. Tapi, sekarang aku tidak perlu takut. Karena mulai besok aku sudah bisa mulai belajar di sekolah seperti anak-anak lainnya. Terima kasih, Ayah.
Ayah tersenyum tipis. "Iya, Tera," katanya lembut.
Aku balas tersenyum. Ayah pernah bilang, melihat senyumanku selalu membuatnya semangat dalam menjalani hidup. Karena itu, tiada henti ku berikan senyum terbaikku setiap hari. Agar Ayah selalu semangat. Agar Ayah selalu sehat. Agar Ayah selalu senang, dan agar Ayah selalu di sampingku, selamanya.
"Ayah, kalau besok Tera gak punya temen, gimana?" Ayah mengangkat kepalaku dari pahanya, kemudian memeluk tubuhku dari belakang. Pelukan yang selalu membuatku nyaman.
"Punya, dong. Anak Ayah kan cantik, pasti nanti punya banyak teman. Makanya, Tera jangan nakal, ya?" aku mengangguk, berjanji. Aku tidak akan jadi anak nakal. Demi Ayah.
"Tera, kalau sekolah mainnya jangan jorok-jorok, ya?"
"Kenapa, Yah?" tanyaku heran. Aku sering melihat beberapa anak seumuran ku ketika pulang sekolah, baju mereka tidak selalu bersih. Pasti ada sedikit noda dalam pakaian sekolah mereka.
Ayah menghela nafas gusar. "Karena Ayah Cuma bisa beli satu pasang pakaian sekolah untuk Tera. Ayah belum punya uang mau beli lagi," ucap Ayah menyesal.
Aku mengerti. Bisa sekolah saja aku bersyukur.
"Iya, Yah. Tera janji."
"Lentera-nya Ayah yang pintar. Anak siapa, sih?" goda Ayah padaku.
"Hahahah anak Ayah, dong. Lentera-Nya Ayah," kataku. Tanpa bisa ku cegah, Ayah mulai melancarkan aksinya untuk menggelitiki ku.
Aku tertawa keras. Bahagia bisa melihat Ayah tersenyum.
Aku tersenyum lebar. Bahagia bisa melihat Ayah tertawa.
Aku memeluknya erat. Bahagia karena bisa memiliki Ayah sepertinya.
Tapi, sayang. Senyuman kami di renggut.
Gelak tawa kami di renggut.
Kebahagiaan kami di renggut.
Karena, sejak 3 bulan lalu, takdir merenggut Ayahku.
*****Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Suasana di perpustakaan masih tampak sepi. Biasanya aku akan datang sekitar pukul 10 pagi. Tetapi, entahlah. Hari ini dosen yang masuk di kelasku, mendadak tidak bisa hadir, dan hanya memberikan tugas yang wajib dikumpulkan besok siang.
Tempat mana lagi yang akan ku singgahi, selain perpustakaan?
Setelah mengintip sedikit ke dalam, aku bisa bernapas lega. Tidak terlalu banyak orang, aku masuk pasti tidak akan ada yang sadar. Ya, pasti.
Sayangnya aku terlalu percaya diri.
Memangnya aku ini siapa? Hingga masuk ke perpustakaan saja banyak yang memerhatikan!
Aku mendesah lelah. Selalu seperti ini. Setiap berada di keramaian, aku selalu berdebat dengan batinku. Begitu pun sebaliknya, setiap berada di kesunyian, aku selalu berdebat dengan batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera
RomantizmCukup memandangnya dari jauh dalam kegelapan. Cukup menyebut namanya di setiap malam. Maka aku akan bahagia.