Bab 22

5.7K 251 1
                                    

Suara-suara teriakan seakan menambah keramaian dalam pertandingan basket yang diadakan oleh kelas duabelas. Sementara Helena mulai menjauh dari keramaian dan berjalan menuju kelasnya, gadis itu bagai mayat hudup beberapa hari ini. Malam prom night akan diadakan besok malam. Yang artinya malam itu adalah malam terakhir ia bisa bertemu dengan Devon sesuai perkataan pria itu.

Tapi Helena inginkan Devon menjadi pasangannya dimalam prom night, menjadi pasangan dansanya. Helena mengetik pesan di ponselnya untuk Devon, semoga saja pria itu menyetujui ajakan bertemunya. Helena beberapa hari ini memperhatikan Devon dari kejauhan, melihat pria itu sepuas yang ia bisa tanpa ketahuan, ia seperti stalker beberapa hari ini. Meskipun ia tak tau Devon menyadari Helena yang memperhatikannya atau tidak.

Di koridor Helena berpapasan dengan Sam, pria itu tampak ingin bicara padanya namun Helena segera tersenyum, seolah mengatakan kita gak perlu bicara. Helena tau amat tidak adil bagi Sam, tapi Helena juga tak mau ditengah masalahnya dengan Devon ia masih berhubungan dengan Sam. Helena harusnya tau sejak kedatangan Sam, Devon mulai berubah, pria itu mulai mencair, lebih mudah tersenyum, bercanda dan lebih menghargai Helena. Namun yang dilakukan Helena adalah membenci sifat possesive Devon. Helena rela detik ini juga Devon menghajar pria yang dekat dengannya, namun sayang hal itu tak akan terjadi.

Ponsel Helena berdering nyaring, Helena sengaja memperbesar volume nada pesannya, di rogohnya ponselnya di saku roknya, menemukan pesan dari Devon

Gue di rooftop.

Hanya pesan singkat itu, tapi Helena langsung tau dimana ia harus bertemu pria itu. Helena dengan langkah cepat berjalan menuju rooftop tak memperdulikan mungkin saja nafasnya bisa sesak saat itu juga.

Dibukanya pintu rooftop cepat, dan langsung menemukan Devon yang tengah berdiri dari jarak yang cukup jauh, namun dapat Helena sadari mata pria itu menatap lurus padanya.

"gak ikut nonton basket?"tanya Helena basa-basi, ia hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Devon.

"gak penting"jawaban bernada flat yang membuat Helena tersenyum, Devon memang tak akan mau melkuka hal yang tidak penting baginya

"udah nemuin pasangan untuk malam prom night?" Helena berjalan makin mendekat kearah pria itu, hingga mata mereka bertemu, namun Devon dengan cepat memalingkan pandangannya, membuat Helena sadar bahwa pria itu sudah tak nyaman lagi menatap matanya.

"rasanya gue bisa datang tanpa pasangan"balas Devon tanpa mentapa Helena

Helena mengangguk membenarkan"kalau gue punya satu permintaan sebelum lo pergi ke Inggris, lo mau ngabulin?"

Devon langsung menatap Helena heran"permintaan apa, udah kayak orang mau mati aja"jawab pria itu dengan kekehannya

Helena tersenyum miris, pria itu bahkan tak tau tentang penyakitnya, karena Helena benar-benar tak pernah mau memperlihatkannya, ia benci dikasihani, dan ia benci Devon tau penyakitnya. Ayahnya berbohong padanya, ia bilang Helena hanya asma, namun nyatanya penyakit yang sebenarnya membuatnya bisa mati kapan saja.

Lalu, kalau gue mati. Apa lo masih perduli?

"jadi pasangan gue dimalam prom night"Helena menatap Devon serius

"untungnya buat gue?"

"seenggaknya lo gak perlu menikmati malam prom night yang membosankan"balas Helena

Devon mengangkat sebelah alisnya"oke"

Helena tersenyum senang"gak pergi?"tanya Devon menatap kedepan dengan menyandarkan punggungnya di tembok

Helena ikut menyandarkan punggungnya ke tembok"ada larangan gue gak boleh disini?"

"Hel?"panggil Devon pelan

"hmm"gumam Helena

"Te amo"ujar Devon menatap Helena serius

Helena membulatkan matanya kaget, ia menatap Devon heran, gadis itu bahkan tak sadar sudah mengekakan tubuhnya yang sebelumnya bersandar ditembok. Devon tersenyum melihat tingkah Helena.

"lo barusan bilang apa?"

"gue lupa"jawab Devon dengan nada seolah tak tau apapun.

Helena berdecak sebal"lo bilang Te amo Devon"

"ah ya gue ingat, itu yang tadi gue bilang"jawabnya santai

Helena semakin sebal"maksudnya apa?"

"tadi gue nyatain perasan gue"sikap santai pria itu membuat Helena makin sebal, tapi tak urung gadis itu tersenyum kearah Devon

"jadi, lo gak benci sama gue?"

"kapan gue bilang benci"sergah Devon cepat

Helena tersenyum senang, gadis itu bahkan tak menghentikan senyumannya yang mulai tampak idiot. Lalu Helena teringat sesuatu, membuatnya menurunkan senyumnya"tapi lo akan pergi Devon. Kita jauhan"

"yang jauhan badan, bukan hati"Helena merasakan pipinya memerah

"kita empat tahun gak ketemu dong"

"setahun sekali gue usahain pulang. Gimana?"

"tetep aja, gue sedih"

Devon tiba-tiba menarik Helena kedalam pelukannya, membuat aroma mint dari pria itu menguar memenuhi indra penciumannya.

"semua akan baik-baik aja"

Helena mengangguk dalam pelukan pria itu. Setidaknya ia sudah tau Devon tak membencinya. Ldr bukanlah masalah untuk Helena, mungkin ia akan rindu, namun selama ia tau Devon mencintainya itu sudah cukup.

Devon melepaskan pelukannya, membuat Helena dengan cepat memalingkan pandangannya karena malu.

Devon tersenyum geli melihat tingakah Helena"ke kelas yuk"ajak Devon menggenggam tangan Helena

Helena hanya mengangguk, membalas genggaman tangan Devon, senyum Helena tak pernah luntur, ia sangat senang, meskipun nantinya dia dan Devon akan berjauhan. Helena akan menjaga hatinya untuk Devon. Helena janji.

Devon sadar, kali ini jalan yang diambil tak salah, pertunangannya memang batal. Namun yang diawali hari ini dengan pernyataan cinta adalah awal dari semuanya. Ia sadar Helena benar-benar cinta padanya. Setelah apa yang ia lihat beberapa hari ini, saat Helena terus menatapnya dari kejauhan, mungkin gadis itu kira Devon tidak sadar, tapi nyatanya Devon hanya pura-pura tidak melihat. Devon tentu tak bisa saat melihat Helena menangis.

"ke kantin yuk"ajak Helena

"ngapain? "

"nonton konser Justin Bieber. Ya makan lah Devon"ujar Helena gemas

"yaudah"

"yaudah apa? "

"makan"

"ngomongnya pendek banget, ambigu"ketus Helena

"mau ditemenin gak? "goda Devon

"mau"jawab Helena akhirnya

Keduanya berjalan kearah kantin dengan tangan yang seakan merekat seperti sudah diberi lem.

Satu pertanyaan dibenak keduanya sebenarnya, ketakutan yang tak berani mereka ungkapkan.

Sanggupkah mereka Ldr?.

A/N: Betapa lancarnya ide ini sampai sehari aku up dua kali. Voment guys. See you in the next chap.

Kiss and hug.  TE AMO. AHH MELELEH.

My Possesive Ice Prince (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang