Kesadaran

7.7K 534 0
                                    

Kata-kata terus berulang di kepalaku. Apa aku tidak salah dengar? Luka lebam? Ia tau dari mana?

"Kau gila. Aku tidak punya luka lebam selain di lutut akibat bermain basket."

Hadyan tertawa kecil "andai kau tidak keberatan. Aku ingin jujur bahwa aku sudah lelah bersabar terlebih jika kau tidak pandai berbohong."

Mendengarnya, melihat mimik mukanya, membuat keringat dingin menghujani punggung Tasia. Jantungnya berdetak kencang hingga kedua matanya tidak bisa fokus.

Jadi dugaanku selama ini benar, bahwa Hadyan bukanlah manusia biasa. Ia bukanlah seorang manusia yang dipikirkan orang-orang.

"Kalian masih di sini?"

Tanpa mereka sadari ibu Lensy sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat sambil memperhatikan mereka.

Hadyan langsung menoleh ke belakang, di mana ibu Lensy berdiri.

"Ah.. maaf bu, saya rasa keadaan Tasia semakin menurun." Jawab Hadyan dengan wajah khawatir.

Ibu Lensy mendekat, ia menyadari wajah Tasia yang sudah pucat pasi dan berkeringat. Ia terlihat lemas dan hanya terdiam dengan tatapan kosong.

"Tasia? Kau baik-baik saja? Apa kau pusing lagi? Badanmu dingin sekali." Ibu Lensy memijat ringan pundak Tasia.

"Mungkin sebaiknya Tasia pulang, bu. Kebetulan rumah saya dekat dengan rumahnya. Kalau diijinkan, saya bisa mengantarkannya pulang." Tawar Hadyan.

"H.. hah? Ti.. tidak perlu.." Tasia terbata, takut keadaan menjadi semakin buruk.

"Tidak apa Tasia. Biar Hadyan yang mengantarkan kamu pulang. Ibu yang bertanggungjawab nanti, jangan khawatirkan Hadyan. Sekarang kau pulang saja ya." Ujar ibu Lensy. Meski sedikit, ia tau keadaan Tasia yang adalah seorang yatim piatu. Ia tidak memiliki keluarga yang mau menjemputnya hanya karena masalah sepele seperti ini. Sejak dulu, Tasia terbiasa istirahat di UKS bahkan hingga jam pulang. Jika saat ini ada yang mau mengantarnya, itu adalah hal yang bagus agar Tasia bisa istirahat total di rumah.

"Tapi, bu. Saya.."

"Tidak apa-apa, Anastasia. Aku akan mengantarmu pulang dengan selamat. Jangan khawatir." Hadyan tersenyum.

"Yasudah, Hadyan. Tolong antar Tasia sekarang, ya? Dan.. jangan coba-coba untuk kabur. Ibu mau kau langsung kembali ke sekolah." Ancamnya.

Hadyan tersenyum "jangan khawatir, bu. Kami pergi dulu."

Tasia tidak dapat mengelak, selain karena terkejut ia merasakan tubuhnya begitu lemas hingga untuk berbicara saja ia tidak sanggup.

Hadyan menuntun Tasia ke lobby sekolah dan membantunya duduk di bangku tunggu sementara ia memanggil taxi. Terselip sebuah senyuman kecil pada bibirnya.

Aku tidak jahat. Aku hanya tidak suka menunggu terlalu lama.

Ketika taxi datang, Hadyan segera membantu Tasia masuk ke dalam taxi dan mereka berdua duduk di kursi penumpang belakang. Hadyan memberitahukan sang sopir ke mana tujuan mereka dan mobil mulai melaju.

Sepertinya sudah aman untuk melepas peganganku. Ia tidak mungkin loncat keluar dari mobil bukan?

Hadyan memejamkan matanya sebentar, lalu rasa lemas dan pusing yang Tasia rasakan perlahan sirna.

Dia!! Apa dia yang melakukan ini?!

Tasia menatap sisi wajah Hadyan dengan tajam. Nampaknya dugaan Tasia benar, karena sebuah sunggingan terbentuk menakutkan di bibir pria itu hingga bulu kuduk Tasia meremang.

The Prince Of The East Sea // EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang