Pertemanan

7.3K 532 2
                                    

Tasia mengangguk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia berjalan mondar mandir seperti setrika mengitari kamarnya.

Apa benar? Jika tidak, bagaimana ia tau tentang luka lebamku? Dan bagaimana caranya ia bisa membuat lebam ini terasa sakit? Apa benar lebam ini adalah ulahnya? Atau ini semua hanya kebetulan? Jangan-jangan ia hanya kebetulan melihatnya saat aku pingsan atau ia mengintip saat aku ganti baju olah raga?!

Segala pertanyaan dan kemungkinan muncul di benak Tasia. Di lubuk hatinya, ia yakin bahwa Hadyan benar-benar sosok di balik semua hal janggal itu. Namun otak Tasia terus menolak dengan logika-logika.

Oke Tasia.. kau harus tenang. Sekarang pikirkanlah. Jika benar lebam ini adalah ulah Hadyan, bukankah itu artinya aku sudah bertemu dengannya saat liburan? Karena jelas lebam muncul ini muncul setelah aku hilang di tengah laut. Sejak awal ada yang aneh dengan Hadyan, aku merasa ia selalu mengincarku. Kejadian saat aku menghilang dan kembali secara tidak wajar, apakah ada kaitannya dengan Hadyan?

****

Hadyan kembali ke sekolah. Ibu Lensy sudah menunggu di lobby dan segera memanggilnya. Hadyan menghampiri, tersenyum dan mengangguk ramah.

"Saya tidak tau rumah Tasia sejauh itu. Bagaimana penjelasanmu, Hadyan?" Tanyanya.

"Tadi nenek Tasia menanyakan beberapa hal, bu. Jadi kami mengobrol sebentar. Ia khawatir terhadap Tasia." Jelasnya.

"Neneknya?" Ulang ibu Lensy, Hadyan mengangguk sedikit ragu.

"Satau saya, nenek Tasia mengalami sakit pikun. Apa kamu tidak salah sudah mengobrol dengannya? Kamu tidak mencoba membohongi saya bukan?" Ia menaruh tatapan curiganya pada Hadyan.

Hadyan terkejut dalam hati, namun tetap berusaha tenang "ah.. pantas saja pembicaraan kami tadi sedikit tidak nyambung. Ternyata karena itu. Saya tidak berbohong, bu. Nenek Tasia terkejut karena ia pulang terlalu cepat, sehingga menanyakan beberapa hal pada saya."

Ibu Lensy akhirnya mengangguk, lagipula Hadyan tidak terlambat terlalu lama. Penjelasannya masuk akal dan ia tidak tampak berbohong. "Baiklah. Kau boleh masuk dan lanjutkan pelajaran ya. Trimakasih sudah mau menolong mengantar Tasia pulang."

"Sama-sama, bu." Senyumnya lalu berjalan masuk menuju kelasnya.

"Hadyan!" Ia berbalik mendengar suara wanita meneriaki namanya.

"Bagaimana keadaan Tasia? Dia baik-baik saja kan?" Marya melangkah menghampirinya lebih dekat. Bahkan tidak dapan menahan pertanyaannya sebelum sampai di hadapan Hadyan.

Hadyan tersenyum "Anastasia baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir."

"Ah.. syukurlah! Aku sangat menghawatirkan Tasia. Apalagi sampai kau harus mengantarnya pulang. Ku pikir keadaannya benar-benar parah. Ibu Lensy mengatakan Tasia hampir pingsan dan sangat lemas bahkan terlihat susah untuk bicara. Ia tidak pernah sakit sampai separah itu."

"Marya.. tenanglah. Tasia baik-baik saja. Ia sudah sampai di rumahnya dengan selamat dan sedang beristirahat sekarang."

Marya mengangguk meski masih tersirat sebuah kekhawatiran di wajahnya. Hadyan tersenyum lembut "Tasia sangat beruntung memiliki sahabat sepertimu."

Marya mendongakan kepalanya yang tertunduk lalu menatap Hadyan dengan senyum jahilnya "apa itu sebuah pujian? Terimakasih ya."

"Ya. Itu sebuah pujian. Kau sangat baik, kau tau itu?"

Marya tertawa lebar sambil menepuk-nepuk bahu Hadyan yang turut tertawa "kau itu... Benar-benar seperti seorang pangeran dari negri impian." Ia kembali menegakkan tubuhnya "baiklah pangeran, terimakasih terlah membuatku tenang. Sekarang hamba pamit kembali ke kelas dulu, sebelum hamba diusir oleh mahaguru yang murka."

The Prince Of The East Sea // EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang