TBGT #35

8.9K 524 2
                                    

Sepi, itulah yang dirasakan Elen saat ini. Dia berjalan melewati setiap lorong ramai dengan jeritan tertahan dari para perempuan yang iri akan kecantikannya. Matanya tidak membalas tatapan singkat saat para lelaki mencuri pandang kearahnya dengan heran. Melainkan, dua kakinya terus berjalan kearah kantin. Sendirian, begitulah keadaannya karena Alen hari ini tidak masuk.

Alen sengaja bolos karena ingin menunggu Geral di rumah sakit. Sedangkan dirinya ditinggal sekolah sendiri. Kalau saja dia Alen, pasti akan ada Dirga dan Faris yang menemani. Tapi sayangnya dia Elena, bukan Alen yang mempunyai teman setia seperti mereka.

Elen terus berjalan sambil mendengus, sampai matanya menemukan Michel datang padanya dengan tiba-tiba. Tatapan meremehkan dari wajah gadis itu mampu memutar bola mata Elen. Jengah, tentu saja.

"Jangan ngajak berantem sekarang deh. Lagi gak mood." Ujar Elen mendahului Michel, sedangkan Michel dengan cepat telah menarik bahu Elen. Membuat Elen menoleh dan melotot.

"Apa!" Ketus Elen.

"Thanks." Kata Michel tersenyum. Tangannya ingin menjabat namun segera ditepis oleh Elen.

"Sakit lo ya!" Elen mengernyitkan dahi makin dalam saat Michel malah tertawa. "Bener-bener udah gila lo."

"Thanks buat putus sama Vender." Kata Michel tersenyum lagi. "anak-anak pada bilang kalau lo yang mutusin Vender." Tambahnya lagi membuat Elen tersenyum miring, bahkan sangat miring dan tidak percaya.

Putus? Jadian aja enggak! Setan. Batin Elen lucu.

"Serah lo dah." Ujar Elen malas. Dia sudah berjanji untuk tidak baper lagi ketika mendengar nama Vender. Terbukti, dirinya biasa saja sekarang. Meski jujur saja sedikit nyelekit.

"Sekali lagi makasih ya." Senyum Michel kemudian pergi dari hadapan Elen.

"Serah-serah lo dah." Elen mencicit sebal lalu melanjutkan langkahnya menuju kantin.

Dan sialnya adalah kantin seramai itu. Membuat Elen bingung harus duduk dimana karena tidak satu siswapun yang mau membagi tempat duduk dengannya. Kecuali,

"Elena." Panggil seseorang diujung kantin. Membuat Elen buru-buru berlari kesana saat Faris memanggilnya. "Sini." Kata Faris kemudian memberikan duduk disebelahnya.

Didepan Elen sudah ada Dirga yang sama sekali tidak menghiraukannya.

"Alena mana?" Pertanyaan itu langsung meluncur tatkala Elen baru mendudukkan diri di kursi.

"Di rumah sakit." Jawab Elen jujur lalu terduduk kaku disebelah Faris. Meski begitu Elen harus berterimakasih pada cowok disebelahnya karena membolehkan Elen gabung.

"Sakit?" Tanya Dirga lagi.

Elen menggeleng, "enggak cuma,-" Elen memotong kalimatnya sendiri, dia bingung, haruskah dia bilang Geral yang sakit atau?

",-udah makan sana. Kepo aja lo kayak orang lagi nyensus." Tolong Faris membuat Dirga berdesis. Sedangkan Elen menarik nafas lega.

Elen tersenyum singkat lalu mengambil chiki yang disuguhi Faris. "Apa kabar?" tanya Faris memasang wajah seperti rindu dan menarik kembali chikinya sambil nyengir menggoda.

"Ba.ik." kekeh Elen geli sambil mengunyah makanan. Pertanyaan aneh namun mampu membuat semburat merah dipipi Elen seperti tomat merekah.

"Kok merah?" Goda Faris lagi kali ini diselingi dengan tawa.

Elen melotot. Tidak menyangka bahwa seorang Faris bisa mempunyai selera humor nan meledek demikian.

"Bercanda." Kekeh Faris dibalas tawa dari Elen. "Sahabat Alena, sahabat lo juga. Kalau gak ada temen di kelas datengin kita aja." Jelas Faris membuat Elen mengangguk berterimakasih.

Lagi-lagi, kalau saja dia Alena. Mungkin Elen sudah menggoyang-goyangkan tangan Faris, bermaksud menjabat tangannya sambil teriak-teriak mengucapkan terimakasih.

"Penghianat lo boy." Ledek Dirga menyudahi makan baksonya. Sedangkan Faris berhasil melempar chikinya tepat mengenai wajah Dirga. "Sialan lo." Kesalnya mendorong mejanya kedepan.

",-awas kena." Faris menghadang meja itu dengan tangannya. Bukan takut mengenai dirinya, tapi takut terdorong ke tubuh Elen. "Cem- macem ini anak." Faris memundurkan mejanya ketempat semula kemudian tersenyum minta maaf pada Elen yang justru terkekeh karena ulah mereka.

"Santai aja." Ujar Elen mulai menikmati keakraban yang berusaha diciptakan Faris.

"Makan gih." Tunjuk Faris pada ibu kantin yang baru saja mengantarkan pesanan mie ayamnya.

Elen mengangguk, "boleh."

"Satu lagi mak." Ujar Faris.

"Dua mak." Dirga mengacungkan dua jari tangannya keatas.

"Bayar sen,-"

Mengetahui Faris dan Dirga kembali akan berdebat, Elen segera terkekeh sambil menyetop mereka. "Gue yang traktir." Kata Elen dibalas senyuman riang oleh Dirga.

"Nah gitu dong. Alena suka nraktir, kembarannyapun kudu suka nraktir. Haha." Tawanya menang seraya menatap meledek kearah Faris yang tidak bisa protes.

"Jangan mau Len." Cibir Faris.

"Ye kok lo yang sewot. Elena mau-mau aja kok. Ya kan El?" Cengir Dirga mulai menyukai keberadaan Elen.

"El?" Kernyit Elen.

"Iya. Alena, Al. Elo, El. Hehe. Biar jadi panggilan sayang gue ke el,-ADOH-" Dirga kembali melotot saat kepalanya berhasil ditoyor kasar oleh Faris.

"Jangan mau disayang-sayangin sama dia Len." Faris menggeleng seraya menatap intens Elen yang kini sudah tertawa karena kelakuan keduanya.

"Mending sayang-sayangan sama gue. Daripada sama cowok kuper kayak elo." Dirga tak mau kalah.

"Faris gak kuper kok." Bela Elen jujur. "Dia seru." Senyum Elen dibalas kekehan kecil oleh Dirga. Serta semburat malu diwajah Faris.

"Ecie.. Jadi skandalnya udah gak sama cowok es batu lagi ya. Tapi sama cowok kuper. Haha,- Anjing! Nabok lagi gue rendem kepala lo di bak cucian piringnya emak." Umpat Dirga emosi.

Elen dan Faris sama-sama terkekeh malu. Sedangkan Dirga sudah merenggut karena ditabok dua kali oleh Faris.

Setelah itu ketiganya jadi semakin akrab, ditambah Elen betul-betul sangat enak diajak ngobrol. Lalu Dirga mengoreksi perbedaan mereka, bahwa Elen tidaklah sekasar Alen yang suka menaboknya. Tapi tatapan Elen mampu membuat sengatan aneh didada Dirga, ah, bahkan di dada semua pria. Termasuk Faris.

"Elena,-" panggilan Dirga membuat Elen serta Faris mendongak.

Namun, bukan pada pemilik suara Dirga. Rupanya, ada lagi seseorang yang memanggil nama Elen dari balik punggung belakang Dirga, dia Avender.

📎📎📎

Avender meremas tangannya, dadanya dipukul ribuan kali. Dia bukanlah tipe yang menangisi keadaan. Tapi bahkan keadaan ini lebih menyakitkan ketimbang apa yang baru saja ia dengar dari mulut seseorang.

Avender berdecak, tidak kuasa menahan rasa tak percayanya pada situasi. Sedangkan dirinya sendiri tidak mampu bertanya apakah kalimat itu hanya membohonginya atau malah mempermainkannya.

Kembali, Vender mengendarai mobil dengan kebut-kebutan. Matanya memejam, menahan tangis yang menyesakkan. Dia bahkan terlalu emosi hingga klaksonnya dibunyikan ribuan kali.

Menegang, seluruh tubuhnya tidak dapat berfungsi dengan benar. Ia meminggirkan mobil dengan dadakan. Remnya yang cakram mampu membawanya ke pinggir trotoar sepi entah didaerah mana. Vender memukul kemudinya saat mendadak kalimat-kalimat itu kembali terdengar di telinganya.

Dan rasanya, Vender ingin bunuh diri saja.

"BANGSAT, AVENDER!" Umpatnya pada diri sendiri.

📎📎📎

The BadGirl Twins [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang