TBGT #25

9.7K 538 1
                                    

Begini ya rasanya menangisi orang tua yang bukan sedarah. Beginikah rasanya melihat orang yang disayang terluka karena menangis dihadapan makam yang bahkan bukan makam ibu kandungnya sendiri. Dan beginilah pemandangan yang Elen dapati saat di pemakaman.

Gumpalan awan di langit sangat indah, tapi seseorang yang terduduk ditanah nampak begitu sendu. Seperti sebentar lagi hujan deras akan turun ke bumi.

Elen tau Vender sangat menyayangi mamanya, bahkan meski cowok itu tidak pernah melihat wujud asli Ajeng. Vender sangat mengagumi beliau, beda dengan Geral yang justru mengagumi Vanda sebagai pengganti Ajeng.

Mata dingin dan tajam milik Vender kini berubah menjadi sesal. Angin semilir datang seakan mengantarkan rasa pilu yang dalam.

Elen tersenyum, meski sesak. Dia tetap ingin memberi semangat pada Vender. Gadis itu menepuk pundak Vender dari tempatnya berdiri, memberi kekuatan pada cowok itu, dan dirinya sendiri yang tak mampu mengungkap.

"Seandainya gue gak lahir. Pasti nyokap masih hidup." Cicit Vender bangkit dari doanya lantas pergi meninggalkan makam dengan langkah panjang.

Elen tersentak sebentar karena tangannya serasa dihempas tiba-tiba, namun tak pelak mengikuti langkah Vender dari belakang. Tidak berani mensejajarkan langkah dengan cowok itu atau bahkan membalas cicitan Vender yang tentu jelas terdengar ditelinga Elen.

Elen menunduk, batinnya menimbang-nimbang kembali apakah dia akan mengatakan kebenaran itu atau tidak. Bibir pinknya diulum dalam, khas Elen jika sudah gugup.

Berjalan, dan terus berjalan dengan tampang menunduk. Tidak sadar, kepalanya tertabrak oleh benda empuk. Mendongak, Elen malah mendapati wajah Vender yang sangat dekat sekali dengannya.

Mendengar degup jantungnya sendiri tidak karuan, Elen segera nyengir lalu mundur kebelakang. Hal bodoh memang, tapi bimbang Elen didalam hati sudah mengabaikan hal itu.

"Bisa hati-hati." Kata Vender kembali melangkah, kini langkah mereka sejajar.

Elen mengangguk dan tersenyum kikuk.

Tidak mau berlama-lama memupuk kesedihan di makam, Vender dan Elen segera berlalu dari sana dan kini mereka telah sampai di taman dekat komplek. Melihat jajaran penjual jajan, dan tidak menemukan abang nasi uduk. Lantas, kaki Vender menggiring Elen ke pinggir jalan yang lain. Hingga menemukan gerobak bakso dengan keadaan sepi.

Baguslah, Vender memang sedang tidak mau beramai-ramai.

"Mau?" Tawar Vender melirik Elen yang sudah jelas tidak mau langsung duduk ditempatnya.

Setelah berhasil menemukan kursi yang bersih, Elen kini melirik ke Vender sambil mengangguk. "Gak pedes ya." Cengirnya seraya menunggu menopang dagu di meja.

"Suka makan disini?" Tanya Elen merasa sedikit tidak nyaman.

"Gak suka?" Kernyit Vender memilih duduk didepan Elen.

Elen sontak menggeleng, lalu mengangguk, bingung sendiri. "Suka aja." Senyumnya tipis.

"Higienis kok." Kata Vender. Matanya menerawang kesekeliling. Dia jadi ingat halaman kosong tidak jauh dari tempat ini. Biasanya abang nasi uduk ada disana, dan ingat nasi uduk, Vender jadi ingat Alena.

Iya, Alena yang sama sekali tidak pernah meliriknya walau sedetikpun.

Vender memalingkan wajah, matanya lurus melihat kebola mata Elen. Cewek itu, bahkan meski beberapa tahun yang lalu sudah ditolak olehnya. Elen tetap tidak jerah, ah, pernah sekali Elen menjauh, tapi nampaknya tidak berhasil karena kini Elen makin terang-terangan padanya.

The BadGirl Twins [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang