Hyancinth Purple: Pengakuan Cinta

7 0 0
                                    

"Tulip merah yaa?"

Aku menemukan eonni dan temannya, Woo Ri. Mereka sedang berbicara serius sepertinya, entahlah mungkin hanya tebakanku. Eonni memeluk buket bunga Tulip berwarna merah, senyumnya yang manis tidak seperti biasanya. Woo Ri eonni juga tidak biasanya mampir ke toko jam segini. Woo Ri eonni adalah sahabat Chae Rin eonni, mereka sudah berteman sejak SMP dan satu-satunya teman eonni. Aku tidak begitu tahu tentangnya, tapi yang jelas mereka berada di sekolah yang sama saat ini. Woo Ri eonni tidak begitu ramah padaku meskipun seringkali aku berusaha keras untuk mendekatkan diri dengannya. Bagaimanapun juga dia adalah sahabat eonni-ku, tapi setiap kali aku mendekatinya ia seperti memukul mundur diriku agar tetap menjaga jarak darinya.

Aku tidak bisa menghakimi seseorang hanya dari sikapnya terhadapku. Pernah suatu kali Woo Ri eonni berkata kasar padaku. Awalnya aku merasa semua yang dia katakan bukanlah urusannya, lagipula masalah antara aku dan Chae Rin eonni adalah masalah keluarga kami. Dia sebagai pihak luar tidak memiliki tanggung jawab untuk ikut campur dalam permasalahan kami. Aku dan Chae Rin eonni sempat bertengkar karena pengobatanku yang tertunda di rumah sakit. Tadinya aku merasa akan bisa bertahan meskipun tidak lagi menerima pengobatan rutin dari rumah sakit, sehingga tanpa sepengetahuan ibu dan eonni, aku tidak lagi datang ke rumah sakit untuk melakukan pengobatan.

Chae Rin eonni mengetahui semua hal yang aku lakukan, dia ternyata sudah lama mencurigai aku. Ia marah besar ketika mendapat konfirmasi dokter bahwa aku sudah tidak lagi menerima pengobatan selama sebulan lamanya. Untuk pertama kalinya ia berteriak dan memakiku, ia melepaskan semua emosinya terhadapku. Saat itu aku hanya melihat dari sudut pandangku sendiri tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaan ibu dan eonni.

Tanpa sadar aku berteriak padanya,"Jika memang aku harus mati kenapa kau dan ibu harus bersusah payah untuk menyelamatkan hidupku?"

Chae Rin eonni menamparku untuk pertama kalinya. Meskipun ia manampar pipiku tapi entah kenapa secara ajaib rasa sakit yang aku rasakan malah muncul dari dalam hatiku. Aku berlari meninggalkannya saat itu, saat dia memanggil namaku dan mengejarku hingga akhirnya kehilangan diriku. Aku tidak kembali ke rumah hampir tiga hari lamanya, rekor yang aku dapati sejauh ini. Lalu aku bertemu dengan Woo Ri eonni tanpa sengaja, saat aku berjalan kaki menuju rumah setelah memutuskan untuk menyerah dan kembali pada ibu serta eonni-ku.

"Seperti itu balasanmu terhadap Chae Rin? Dia melakukan apasaja untukmu bahkan tanpa memperdulikan dirinya sendiri. Dan yang ada di kepalamu hanya bagaimana kau bisa cepat mati? Jika aku punya adik sepertimu maka sudah sejak lama aku menyerah dan meminta Tuhan agar segera mencabut nyawamu."

Kata-kata sadis yang dilontarkan Woo Ri eonni saat itu rasanya lebih sakit dibandingkan tamparan yang diberikan Chae Rin eonni padaku sebelumnya. Ketika fikiranku berkecamuk dan memutuskan lebih baik mengakhiri hidupku, rasanya tidak ada keraguan dalam diriku ketika memikirkan hal tersebut. Akan tetapi ketika kutukan kematian itu keluar dari bibir orang lain, ajaibnya terasa sangat menyakitkan. Saat itu aku masih saja tidak mengerti kenapa Woo Ri eonni begitu ingin terlibat dalam masalah kami, itu sebabnya aku kembali marah padanya.

"Itu sebabnya kau tidak diberikan seorang adik yang sekarat sepertiku. Untuk itu kau harus bersyukur kepada Tuhan, jadi kau tidak perlu mendoakan kematian untuk adikmu sendiri."

Dia terdiam mendengar ucapanku. Aku fikir saat itu aku sudah menang darinya, tapi ketika melihat senyuman pahit muncul di wajahnya setelah itu membuat tubuhku gemetar. Mungkinkah ada yang salah dari perkataanku? Senyuman pahit itu seakan-akan menyadarkanku akan satu kesalahan yang harusnya aku sadari sejak awal. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan membelakangiku tanpa adanya kata-kata keluar dari bibirnya. Sejak saat itu aku tidak lagi mendengar suara Woo Ri eonni yang menyapaku seperti biasanya. Aku menyadari perubahannya dan berbalik mendekatinya karena aku tahu bahwa perkataanku saat itu pasti sudah menyakitinya juga.

Rain-CarnationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang