OH NO!

10 0 0
                                    

Ojan mendengar kaca mobil yang dikendarainya diketuk seseorang. Sekawanan orang dengan motor berusaha menyejajari mobilnya. Pasti ada yang nggak beres.

Ojan tidak mendengarkan peringatan orang bermotor itu bahwa ban mobilnya kempes, menambah kecepatan. Sekawanan itu pun juga melakukan hal yang sama. Dari arah kiri, sebuah motor menyelip mobil, memberhentikan Ojan. Sial, umpatnya. Ia tetap memegang setir mobilnya.

"Turun lo!" salah satu dari mereka membentak.

Ojan tetap diam. Mengatur napas. Menahan emosi. Fokus menatap depan. Matanya awas menyelidiki satu persatu kawanan itu.

"Turun atau gue pecahin kacanya!"

Ojan terpaksa turun. Sebab, bila ia tidak turun, kaca mobil di sisi kiri Anggi bisa dipecahkan. Bisa melukainya. Sebelum keluar melangkah, Ojan sudah mengunci seluruh pintu.

"Mau apa, lo?"

"Serahin barang berharga itu!"

"Barang berharga apa? Gue nggak tau!"

"Cepet serahin atau lo bakal ngerasain akibatnya!"

Ojan hanya diam dengan ancaman itu. Ia sedang berhitung dengan situasi. Mana langkah yang harus dia ambil. Celah mana yang membuatnya bisa mengalahkan kawanan bermotor yang sedang mengancam nyawanya.

"Lo nggak tau siapa kita?"

"Kalian? Kalian itu cuma rampok pengecut yang beraninya pas sepi doang."

Kawanan itu langsung menyerbu Ojan dari segala arah. Semua sisi terisi tinju yang siap menerjang pertahanan kapanpun. Ojan dapat mempertahankan dirinya. Membalas balik semua serangan yang diterimanya. Tetapi belum semua kawanan itu lumpuh.

Anggi terbangun ketika perkelahian berlangsung. Di depan matanya kini ia melihat Ojan diserang dari segala arah. "Kak Ojan??"

Insting mahasiswi itu pun berkata Anggi harus segera menghubungi polisi. "Halo, Pak, tolong kami, a-ada ram-rampok, t-tolong, a-ambulans, ehm di—" terbata-bata Anggi menjelaskan keadaan. Tangannya gemetar memegang hp.

Seketika kaca mobil tepat di sisinya pecah. Anggi merunduk. Sesuatu yang kasar menarik rambutnya, memaksanya keluar dari mobil. "Lepasin! Aaa, lepasin!"

"KELUAR LO!"

Ojan menengok ke belakang, Anggi ditahan dengan pisau siap menghunus lehernya kapan saja. "ANGGI!!"

BUG!

Ojan lengah. Sebuah bogem melayang ke perut Ojan. Bogem lain segera menghajar pipi dan anggota tubuh lain. Ia terjatuh.

"KAK OJAN!!" Anggi menangis sejadi-jadinya melihat Ojan. Memberontak orang yang menyanderanya. Namun ia kalah tenaga. Ia hanya bisa berteriak. "Lepasin!!"

"Lo nggak bakal bisa lari, paling pisau ini yang bakal nancep di leher lo," kalimat si penyandera sukses membuat nyali Anggi ciut.

Ojan belum menyerah, ia bangkit lagi. Memasang kuda-kuda, bersiap lagi untuk bertempur. Sekuat mungkin badannya mencoba bertahan, tetapi tidak dipungkiri ia gemetar mulai kehabisan tenaga.

"Oh, masih belum kapok? Hajar!!"

Perkelahian part 2 lebih sengit. Ojan yang staminanya turun ditambah dengan jumlah musuh yang lebih banyak membuat Anggi ngeri. Kenapa polisi belum dateng juga sih, pikir Anggi. Ojan jatuh lagi. Kali ini bangkit dengan terhuyung. Anggi menggigit tangan si pemegang pisau. Ia bebas. Anggi berlari mendekati Ojan.

"Kak, Kak Ojan!"

Ojan sempat melihat sekilas seseorang akan menyentuh Anggi. Ojan dengan cekatan dan sisa tenaga yang dimilikinya ia memeluk Anggi, melindunginya. Sedetik kemudian ia merasakan benda keras menghantam punggungnya.

Pelangi Sehabis HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang