Harum nama bangsaku, katanya

51 4 0
                                    


Sorak kemenangan memenuhi Istana Olahraga ini.  Aku memandang sekeliling dengan senyum mengembang di bibirku.  Tidak aku hiraukan keringat nan bau yang mengucur sekujur tubuh. Ini adalah keringat kemenangan,  yakinku. 

Sekali lagi ku pandangi mereka yang sedang berteriak,  ada yang menangis, ada pula yang berpelukan dengan orang di sebelahnya,  ada yang mengibar-ibarkan bendera kebangsaan,  bahkan ada yang berselebrasi kemenangan di tribun sana. 

Aku tertawa melihatnya.  Sebelum pandanganku tertutup oleh jaket merah putih milik temanku,  yang ternyata berlari menghampiriku serta memelukku erat selagi aku menikmati suasana kemenangan ini. 

Temanku memelukku erat,  sampai-sampai raket di genggaman tanganku jatuh. Ugh,  apa apaan orang ini.  Meskipun begitu,  kubalas pelukannya tak kalah erat.  Tak hentinya bibirku mengucap syukur kepada-Nya.

Setelah berselebrasi dengan teman temanku,  segera ku hampiri mereka,  atlet dari negeri Jiran. Oh!  Sama sekali salah kalau kalian mengira kami bermusuhan. Ku berikan toase kepadanya.  Dan Ia memeberikan selamat untuku. Nah,  kalian lihat?  Betapa rukunnya kedua negeri ini. Tidak seperti yang mereka bicarakan di luar sana. 

Ku ambil bendera yang melambangkan kegagahan dipadu dengan kesucian itu.  Aku cium sepenuh hati, sambil bergumam

"ini aku persembahkan untukmu,  negeri ku, tanah airku.  Aku tidak meminta apa-apa.  Tidak perlu kau beri aku uang dan wanita.  Hanya saja,  ijinkan aku untuk berpulang kepadamu lagi dan lagi.  Menikmati airmu,  mencintai budayamu,  menjaga kehormatanmu, negeriku"

Tidak sadar,  setitik air keluar dari mata kananku. 

Huh,  Indonesia. 

Tak henti hentinya dan tak habis habis nya aku mencintai Ia.  Melebihi aku mencintai raketku.  Melebihi aku menjaga sepatu kesayanganku.  Melebihi rinduku akan lapangan persegi berwarna hijau nan khas ini.

Maka, kemenangan ini aku persembahkan untuk Ia,  Indonesiaku.
.
.
.
.
.
Tidak terasa satu bulan telah berlalu pasca kemenangan Indonesia melawan negeri Jiran. 

Aku kembali ke kehidupan ku.  Kebetulan jadwal latihanku belumlah terlalu padat.  Sehingga aku kembali ke rumah masa kecilku.  Orang  yang mendidikku sekuat mereka, orang yang sangat tangguh dan tegar di tengah beratnya hidup. 

Kupandangi rumah mungilku, dindingnya terbuat dari kayu seadanya dan ukurannya tidak dapat dibandingkan dengan kamar di asrama pelatnas. 

"Assalamualaikum, Bu"

Ibuku yang sedang duduk menjahit di depan mesin jahit tuanya, membalas salam. Lantas memelukku erat.

"Selamat ya,  Le" ujarnya. Ah,  pelukannya sangat menenangkan. Betapa tidak, tangan inilah yang menjadi saksi beratnya hidup keluarga kami.

Lalu aku bersimpuh di bawah kaki ibuku.  Mencium tangannya dengan khidmat.

"ibu.. "

Ya keluargaku hidup di kelas menengah ke bawah.  Aku adalah anak yatim,  sedangkan ibuku hanya seorang penjahit.

Mungkin kalian susah percaya kehidupan seorang atlet yang telah mengharumkan nama bangsa seperti ini,  namun inilah kenyataannya. 

Tidak ada tunjangan untuk keluargaku,  yang ada hanya uang yang aku hasilkan setiap memenangkan pertandingan.  Seberapa kecilpun uang yang aku dapat kuberikan kepada ibuku.

Karena akulah tulang punggung keluarga ini.

Lalu kulihat jajaran medali dan piala di dinding dekat televisi.  Berjajar berbagai prestasiku dari tahun awal aku masuk pelatnas. Ibuku selalu merawat dan membersihkan mereka.  Semata-mata untuk menghargai dan mengenang seberapa besar perjuangaku untuk meraihnya.  Namun,  semua itu hanya pajangan.  Prestasiku yang tidak seberapa itu hanya sekilas dilirik oleh mereka.

Mereka,  orang orang atas yang memakan uang yang seharusnya untuk orang bawah.  Inilah akibat dari korupsi,  akibat dari nepotisme mereka yang mampu. 

Aku dan keluargaku hanyalah orang bawah yang sudah tertindas dan semakin tertindas. 

Mengharumkan nama bangsa,  kata mereka. 
Tapi inilah realita. 

Prestasi hanya dipandang sekejap. Dilirik sekilas lalu dilupakan tanpa kenangan yang berarti. 

Aku hanyalah satu dari banyak lain yang harus menerima hal ini. 

Lagi pula,  aku memberikan kemenangan ini bukan untuk mereka. Orang orang atas yang tidak tau diri.  Orang orang atas yang merasa akan selalu di atas.  Tanpa mereka sadari,  keserakahan mereka akan menggulingkan mereka cepat atau lambat. 

Karena kemenangan ini aku berikan untuk ibuku, 
Kemenangan ini aku berikan untuk negeriku,  Indonesiaku.

Orang orang atas memang tidak tau diri.  Tapi Indonesia, tidak pernah ingkar janji. 

Ia selalu memberiku kesempatan untuk pulang. Kesempatan untuk mencintainya,  merindukannya dan merasakan kasih sayangnya.  Dari awal aku menghirup nafas hingga akhir hayatku.

Indonesiaku,  aku mencintaimu!








Bumi NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang