11.a

3.8K 479 10
                                    

"Bunda... bunda... bunda."

Vania menghela napas lelah sekaligus menyabarkan hatinya demi menghadapi anaknya yang entah mengapa hari ini cerewet sekali. Ada saja yang ditanyakan atau diucapkan oleh anaknya itu. Bahkan perihal ketidak-hadiran sosok Kevan selama beberapa hari ini juga ikut dipertanyakan.

"Bunda... "

Rengekkan manja tersebut membuat Vania tak kuasa mencegah dirinya untuk berbalik, lalu kemudian membawa putri kecil yang terus mengekorinya ke dalam pelukkan. "Kenapa, nak?"

"Om Andra kok lama ya perginya, bun?" Naya memilin ujung rambut ibunya yang panjang. "Katanya cuma sebentar perginya. Ini kok lama? Naya kan rindu jadinya."

Vania tersenyum lembut, mengabaikan sudut hatinya yang sakit saat lagi-lagi pertanyaan yang sama diajukan oleh putri kecilnya. Betapa, pertalian darah itu sangat kental. Meski tidak pernah bertemu dan tahu keadaan masing-masing, bisa langsung akrab walaupun baru pertama kali bertemu. Bukannya ingin mengingkari, namun jika bisa Vania ingin membuang jauh kenyataan tersebut.

Tapi apa mau dikata, kenyataan yang terhampar di depan mata memang begitulah adanya. Ya, siapa menyangka jika kejadian paling menyakitkan yang pernah terjadi sekali dalam hidup dan ingin dilupakannya malah menghasilkan sesosok malaikat kecil yang begitu ia sayangi ini. Bahkan karena malaikatnya inilah, Vania serasa memiliki alasan untuk memulai hidup yang baru dan melupakan masa lalunya yang pahit.

Sangat disayangkan, Tuhan rupanya memiliki kehendak yang berbeda dari yang diharapkan Vania dengan mengirimkan kembali pria yang pernah menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping kembali ke dalam hidupnya. Dan jika harus kembali mengingat peristiwa menyakitkan yang pernah Vania alami, rasanya ia akan kembali terperosok ke dalam jurang gelap tanpa pencahayaan sama sekali.

"Bundaaa... "

Syukurnya, kehidupan Vania sekarang tidak sekelam dulu. Ada malaikat kecilnya yang bisa menerangi hidup Vania yang gelap selayaknya lilin. Maka senyum lembut Vania suguhkan untuk malaikatnya itu seraya berkata, "Mungkin om Andranya lagi ada kerjaan, nak. Sebentar lagi juga pasti datang. Jadi Naya harus sabar ya." ucapnya selembut mungkin dan mengabaikan keinginan hatinya yang justru mengharapkan yang sebaliknya.

"Begitu ya, bun?"

Vania mengangguk, "Iya... sekarang Naya panggil tante Mala dulu ya, sarapannya sudah siap." lagi hanya perkataan dengan nada lembut yang Vania berikan sebagai jawaban atas pertanyaan anaknya.

Dan Nayapun tanpa disuruh dua kali sudah langsung menjalankan perintah ibunya, meninggalkan sang bunda dalam kegamangan yang kini membelit sisi hatinya yang menginginkan ia egois saja, serta menutup segala akses yang bisa memungkinkan Kevan kembali menemui anaknya. Namun apa daya Vania sebagai seorang ibu, melihat mata anaknya yang berbinar senang juga selalu tersenyum saat memandang Kevan, Vania rela mengabaikan rasa sakitnya hanya demi menyenangkan buah hatinya itu.

"Ngelamunin apaan, Van?" Mala yang masuk ke ruang makan sekaligus merangkap dapur sambil menggandeng jemari mungil Naya menangkap ada yang ganjil dari perilaku temannya seharian ini.

Vania mengerjap untuk mengembalikan fokusnya lalu kemudian tersenyum, "Nggak apa-apa, cuma kepikiran sama masku di kota saja." bohongnya dan berharap Mala tidak lagi bertanya.

Tapi Mala orang yang jeli, sekali lihat saja ia sudah tahu ada yang sedang memberatkan pikiran temannya itu. Namun sebagai teman yang baik juga karena adanya Naya, Mala memutuskan untuk mengikuti arus saja. "Oh ya udah, kalau ada masalah cerita saja sama aku. Walau nggak bisa memberikan bantuan, setidaknya beban di hatimu bisa berkurang."

Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang