300 vote
76 komentar🌸🌸🌸
Kevan masih senyum-senyum sendiri, bahkan sesekali tertawa pelan menanggapi aksi diam yang dilakoni oleh wanita yang duduk di sebelahnya, di samping kursi pengemudi sembari memangku anak mereka yang tertidur. Aksi diam Vania sudah dilakoni dari semenjak ibu dari anaknya itu menginjakkan kaki di rumah sang ibu tercinta.
Dengan wajah kesal dan tak rela, pada akhirnya Vania tetap tidak bisa menolak rengekkan putri kecil mereka yang meminta sang bunda untuk tinggal lebih lama di rumah nenek yang sangat baik menurut anaknya itu. Kevan tentu saja bersorak senang dalam hati menyambut keinginan anak mereka tersebut. Dalam angan Kevan yang sudah melambung tinggi, mereka sudah pantas di sebut sebagai sebuah keluarga kecil. Ada ayah yaitu dirinya, ada ibu yang sudah barang tentu posisinya di tempati oleh Vania, ada putri kecil mereka Naya.
Saat mengingat lagi semua angannya tersebut, Kevan tak pernah bisa mencegah rasa membuncah karena bahagia di hatinya. Mereka memang sudah layak disebut keluarga, hanya saja belum adanya ikatan resmi yang mengesahkan.
Benar-benar menyebalkan
Jika mengingat lagi belum adanya ikatan resmi yang mengikat antara dirinya dan wanita di sampingnya ini, senyum puas Kevan seakan dipaksa menghilang dan digantikan dengan raut wajah masam yang sesuai dengan situasi yang melingkupi mereka saat ini. Kalau sudah begitu, Kevan harus menguatkan hati, menumbuhkan tekad yang jauh lebih kuat lagi supaya secepatnya bisa mengikat ibu dari anaknya itu ke dalam sebuah ikatan pernikahan agar Kevan tidak perlu lagi berandai-andai karena semuanya telah menjadi kenyataan.
"Besok-besok, mas Kevan nggak boleh berlaku seenaknya lagi."
Lamunan Kevan yang sedang menyusun strategi jitu untuk mengikat Vania buyar seketika. Biarpun sedikit kesal karena penyusunan strateginya dipaksa untuk dipending dulu, tapi tak ayal senyum cerah terbit di bibirnya saat mendengar wanitanya mau bersuara kembali.
"Aku nggak enak loh mas sama guru-guru yang lain di sekolah. Masa sedang mengajar eh malah dijemput dengan alasan yang siapapun yang mendengarnya pasti tau kalau alasan itu mengada-ada. Kan aku jadi malu, trus nggak tau harus ngelakuin apa pas ketemu mereka lagi nanti."
"Iya... maaf, mas janji nggak akan melakukan itu lagi." sahut Kevan atas dumelan wanitanya. Kevan juga membiasakan diri menyebut dirinya dengan panggilan 'mas', sesuai dengan apa yang dimau oleh wanitanya itu. Karena setelah dipikir lagi, panggilan 'mas' dirasa lebih intim ketimbang panggilan 'abang'.
"Mas Kevan, habis dari rumah tante Lita, tolong antarkan aku ke rumahnya mas Nara ya."
"Bukannya kamu udah tau alamat rumahnya Nara?"
Vania menghela napas sebelum menjawab, "Itu rumah lamanya, kalau rumah mas Nara dengan istrinya yang sekarang ini aku nggak tau. Waktu mas Nara ngunjungin aku, sempat sih dia ngasih alamatnya, tapi kertasnya keselip entah dimana."
Tangan Kevan terasa gatal untuk membelai kepala wanita di sampingnya ini. Namun saat melihat lagi jenis pakaian seperti apa yang kini menutup seluruh tubuh wanitanya itu, Kevan dengan berbesar hati harus mengurungkan niatnya tersebut. Dengan mengepalkan tangannya seerat mungkin agar tidak bergerak kemana pun Kevan berucap, "Iya, nanti mas anterin."
"Makasih ya mas."
Ucapan dengan nada tulus dan suara merdu yang terdengar tersebut membuat hati Kevan menghangat. "Sama-sama." jawabnya cepat.
"Eh mas tau nggak?" tiba-tiba Vania kembali bersuara setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan.
"Enggak, kan kamu belum bilang apa-apa." Kevan menggeleng polos sebagai penunjang ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]
Roman d'amourTakluk's The series #3 -Dihapus sebagian - Sudah tersedia di google play (yang mau ngoleksi cerita babang Kevan dan akak Naya dalam bentuk ebook, sudah bisa dibeli di google play) "Kau hanyalah kepingan masa lalu bagiku. Jika dulu kau dengan mudahn...