Keluh kesah dikit;
Saya ini biarpun cuma tamatan SMP, tp saya masih bisa menghitung. Setiap orang kan cuma bisa ngasih satu vote, nah sepenglihatan saya, di setiap cerita saya perbabnya bisa mencapai kurang lebih 300 vote. Jadi yang mau saya tanyakan, kenapa yg ngasih komentar bahkan nggak ada setengah dari angka yg saya sebutkan tadi.
Greget aja pas tau masih banyak yang senang jadi silent reader dari pada nunjukin keberadaannya. Saya juga nggak tega sama beberapa pembaca setia saya yg bahka harus ngasih komennya sampai berkali-kali cuma buat menuhin target saya (yg selalu saya syukuri karena kalian selalu ada untuk mendukung saya!).
Tp udahlah, saya nggak mau mempermasalahkan itu lagi. Jadi, buat kalian2 pembaca setia yg tak lupa meninggalkan vote dan komennya, bab ini saya mau 250 vote dan 76 komen ya. Bisa kan?
Segitu aja. Selamat membaca dan semoga coretan saya ini bisa menemani kalian di waktu senggang.
🌸🌸🌸
Siang itu, sinar matahari yang tak kuasa menampakkan kekuasaannya karena tertutup awan, di sebuah restoran keluarga tampak Arlita yang sedang memperhatikan cucunya yang cantik dan menggemaskan makan dengan lahapnya. Atas permintaan darinya, ibu dari cucunya itu mengizinkan Arlita untuk pergi berdua saja dengan sang cucu dengan beberapa catatan penting yang diterapkan oleh Kevan, anaknya yang kurang ajar itu.
Sesekali diantara keasyikannya memperhatikan sang cucu, Arlita tak pernah absen membersihkan pipi cucunya itu yang belepotan remahan makanan saking lahapnya menyantap hidangan di atas meja. Lalu sesaat kemudian bibir Arlita mengerucut sebal saat matanya tanpa sadar menatap satu sudut restoran tempat ia dan cucunya makan tampak sesosok pria bertubuh tegap, berpakaian serba hitam, lengkap wajah datarnya berdiri di sana. Kalau bukan demi keselamatan sang cucu tercinta, sudah barang tentu Arlita akan mengusir sosok berwajah datar itu dari hadapannya. Namun, sekali lagi apapun jika menyangkut keselamatan cucunya yang gendut dan tidak banyak maunya itu, Arlita siap berkompromi.
"Enak makannya, nak?" tanya Arlita sembari menyeka sudut bibir Naya yang belepotan saus.
Naya mengangguk disertai jawaban, "Enak."
"Kalau gitu makan yang banyak ya. Habis itu nenek antar ke tempat bunda sama ayah." ujar Arlita yang sudah menerapkan panggilan ayah untuk anaknya Kevan yang brengsek dan penjahat kelamin kelas kakap.
Sejenak Naya berhenti makan saat pikiran kritisnya selalu merasa janggal saat baik wanita di depannya ini yang dipanggil nenek olehnya ataupun pria yang dipanggil kakek yang sekarang entah berada dimana membiasakan panggilan ayah untuk pria yang dikenalnya sebagai 'om Kevan'. Namun sekritis apapun pemikirannya, Naya tetaplah seorang anak kecil yang pemikiran masih bersih. Sehingga hanya mengangguk saja saat disuruh memanggil ayah kepada sosok pria yang sudah membuatnya nyaman tersebut. Apalagi sang bunda tidak melarang apapun yang dijejalkan di otaknya.
"Bunda sekarang ada di mana, nek?" tanya Naya diantara kunyahannya.
"Di rumah om Nara."
"Om Nara, siapa?"
"Om Nara itu kakaknya bunda kamu."
"Kakak? Berarti om Nara itu perempuan dong? Kenapa dipanggil om?"
Naya dengan pemikirannya yang tak terduga berhasil memancing tawa kecil dari bibir Arlita. "Bukan perempuan, tapi laki-laki." sabar Arlita menjelaskan.
"Kok nenek bilang kakak? Kan biasanya perempuan yang dipanggil kakak?"
"Lalu, kalau laki-laki seharusnya dipanggil apa?" Arlita balik bertanya karena senang mendengar suara cucunya yang merdu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semerah Warna Cinta [TTS #3 | SELESAI]
RomanceTakluk's The series #3 -Dihapus sebagian - Sudah tersedia di google play (yang mau ngoleksi cerita babang Kevan dan akak Naya dalam bentuk ebook, sudah bisa dibeli di google play) "Kau hanyalah kepingan masa lalu bagiku. Jika dulu kau dengan mudahn...