002 🐾

432 42 22
                                    

"Yang Akan terjadi padamu esok nanti, adalah hasil dari apa pilihan langkahmu saat ini"

Suara sendok yang beradu dengan gelas menemani pagi hari Pradana. Kepulan asap dari minuman pahit itu mendominasi aroma ruang makannya saat ini. Sama seperti yang di alami putrinya tadi malam, Pradana tak menemukan apapun untuk persediaan makanya bahkan untuk sarapan pagi ini. Hampir 13 tahun ini ia hidup sendirian, karena Manda ia titipkan di tempat ibunya. Jadi ya, ia lupa jika harus memerhatikan kebutuhan satu individu lagi. Rasa bersalah kembali menyerangnya, angan-angan sebagai ayah yang baik kembali teriang.

Teringat jika masih ada susu kotak, beberapa butir telur dan beberapa lembar roti tawar, Pradana jadi memiliki ide untuk membuatkan roti isi untuk putrinya. Di mulai dari menghangatkan susu kotak, kemudian mulai meletakkan teflon di atas kompor, mengolesi permukaan teflon dengan mentega dan seterusnya.

"Semangat Pradana! Demi anakmu, ini hari pertamanya ke sekolah harus di mulai dengan sarapan! " ujar Pradana pada dirinya sendiri.

Aroma mentega yang sangat menyengat menuntun Manda untuk berjalan menuju sumber aroma. Ia menduga jika ayahnya sedang berulah di dapur. Manda sempat ingat akan ucapan neneknya.

Ayahmu itu lucu nak, ia bahkan tak pernah menyentuh kompor. Saat SMP dia sempat mencoba untuk belajar menggunakan perkakas dapur itu. Tapi yah, naas saja wajan kesayangan nenek harus beristirahat dan bergabung dengan perkakas gudang lainnya dengan warna hitam arang.

Bukanya gimana-gimana atau tak percaya pada ayahnya sendiri. Namun mendengar cerita nenek, Manda menjadi ragu jika ayahnya menyentuh dapur. Apalagi dengan aroma yang kini menyelimuti seisi rumah. Dan benar saja, sesampainya di dapur Manda menemukan keadaan yang 'bisa di bilang sangat kacau' terdapat beberapa pecahan telur dan kulitnya yang bertebaran. Sebenarnya ayahnya sedang melakukan apa?

"Akhirnya jadi! " Pradana bersorak sambil memindahkan telur itu ke atas selembar roti yang sudah bertengger di piring sedari tadi.

"Ayah ngapain? " Pradana makin mengembangkan senyumanya yang kini melebihi meteran itu.

"Buat roti isi untuk putri raja. "

Manda melangkahkan kaki mengikuti intruksi ayahnya yang kini terlihat sangat sumringah. Setelah bermenit-menit mendengar cerita ayahnya tentang bagaimana dia berperang dengan cipratan mentega panas, akhirnya Manda pun melahap masakan pertama buatan ayahnya itu. Entah bumbu apa saja yang Pradana gunakan, namun Manda hanya merasakan rasa asin gurih yang sangat menyengat.

"Manda telurnya asin ya?" Manda mengangguk untuk menyetujuinya, "berhenti biar ayah buat lagi, " Pradana hendak merebut roti yang putrinya genggam namun lenganya di tangkis.

"Apapun yang ayah berikan buat Manda itu nikmat kok, Manda suka rasanya. Rasa cinta dari seorang ayah, " Manda tersenyum lalu kembali mengunyah hingan tak tersisa secuil pun.

Pradana bisa merasakan jika yang putrinya ucapkan bukan hanya omong kosong belaka, ia melihat kehangatan dari dua bola mata Manda. Tak ada kebohongan sedikitpun. Pradana sangat terharu hingga refleks untuk memeluk putrinya. Begitupun dengan Manda, ia merasakan pengorbanan yang sangat besar dari ayahnya. Manda membalas dekapan ayahnya dengan sangat erat.

Ting! Tong!

"Selamat pagi Om Pradana! " Devan menyandarkan badanya di dekat pintu. Seperti ajakkanya tadi malam pada Manda, Devan menepatinya hari ini untuk pergi sekolah bersama.

Merasa tak mendapat respon, kembali di tekannya tombol bel rumah Pradana berkali-kali, tapi tetap saja tak ada balasan. Atau mungkin dia kesiangan? Hingga Manda sudah berangkat ke sekolah terlebih dahulu.

LatentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang