005 🐾

259 35 9
                                    

Jangan takut,kamu penenang bagiku. Kalau penenangku takut nanti aku bagaimana?

Manda

Sudah beberapa hari ini aku bermalam di ruang rawat Devan. Dia terlihat sangat berbeda. Devan yang biasanya tampil menemuiku dengan wajah ceria sekarang berubah menjadi wajah lemah tak berdaya. Aku masih sering berfikir, seandainya saat itu aku tidak egois mungkin ini semua tidak akan terjadi. Orang-orang benar, aku memang pantas disalahkan pada kasus ini.

Aku tidak sendirian menanti Devan membuka kelopak matanya. Bryan dan teman-teman Devan yang waktu itu sempat aku lihat di basecamp silih berganti untuk ikut serta menjaga Devan.

"Gue sama hengky cabut duluan udah sorean soalnya," dia salah satu teman Devan yang sampai sekarang aku belum tau siapa namanya. Aku selalu senang melihat interaksi yang mereka lakukan, mungkin karena aku sendiri belum pernah merasakannya hingga hal itu membuatku penasaran.

Dia melihat ke arahku, tentu saja aku bingung harus bagaimana. Dia semakin mendekat dan terus mengikis jarak yang ada.

"Hai manis, duluan ya. Devan baru senyum tuh liatin kamu setia nungguin dia," dia tertawa renyah sedangkan aku hanya tersenyum kikuk. Ia mulai melangkah menjauh hingga aku tak bisa melihatnya ketika pintu ruangan tertutup.

Lagi dan lagi, suasana selalu hening saat hanya ada aku dan Bryan yang tersisa. Aku suka berharap agar mama Devan segera datang hingga suasana canggung ini menghilang. Dan tuhan terlalu sayang padaku hingga harapan itu selalu sirna sebelum sampai tempatnya. Mama Devan akan kesini setelah ayah Devan pulang dan hal itu akan terjadi setelah lewat pukul 9 malam.

Memang gadis yang menyedihkan, bahkan aku belum tau nama ayah dan mama Devan. Selama ini aku hanya memanggilnya dengan sebutan 'om' dan 'tante'. Mungkin nanti malam aku akan mencoba bertanya.

Sungguh suasana ini benar-benar membuatku muak. Aku memutuskan untuk mengambil notebook dari dalam tas dan berencana untuk pergi keluar ruangan sebentar. Berjalan-jalan di ruang operasi mungkin atau menenggelamkan diri di ruang mayat, daripada harus berdiam diri dengan seseorang yang entah kepribadian aslinya itu bagaimana. Tempo hari dia ramah, humoris walaupun sedikit memaksa. Hari ini bahkan ia pantas dinobatkan sebagai titisan limbad. Diam, dingin, mengerikan dan banyak lainnya.

"Bryan, aku keluar sebentar ya?" lagi-lagi dia hanya diam.

Aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar, namun saat memegang knop pintu saat itu juga terdapat sebuah tangan yang mendahuluiku. Aku mendongakkan kepala dan mendapati Bryan yang juga sedang menatapaku. Dengan dingin.

"Gue temenin."

"Tapi Devan.. "

"Kita bisa nitip ke suster bentar, " aku mengangguk dan membiarkan Bryan jalan terlebih dahulu.

Setelah kurang lebih 4 menit mengekori Bryan, aku sadar jika ini Jalan menuju ekspetasiku tadi. Kamar mayat benar ini jalan menuju kamar mayat. Jangan-jangan Bryan bisa membaca pikiranku dan sekarang dia berniat menenggelamkanku di antara mayat-mayat yang membeku disana. Jangan sampai, bisa-bisa aku mati tak tenang karena wajahnya yang terakhir kulihat.

"Kita salah jalan, sorry, " demi apapun aku ingin menendang betisnya sekarang.

"Sebenernya gue bingung mau kemana, gue kan nggak tau tujuan lo."

Kenapa nggak bilang daritadi sih

"Aku mau ke kantin, " 100% bohong. Tapi mau gimana lagi, setidaknya jika di kantin aku bisa berkutat dengan makanan. Kalau aku jujur mau ke taman mungkin hanya membuang waktu sia-sia dengan keheningan

LatentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang