010 🕊

194 20 3
                                    

“Sejujurnya aku sendiri juga tak mengerti. Caramu menatap orang lain dan caraku menatap dirimu. Membuatku berubah akhir-akhir ini”

1 detik 2 detik 3 detik dan detik-detik selanjutnya. Manda masih bingung dengan apa yang akan ia goreskan ke notebook kecilnya. Tak biasanya seperti itu, apapun yang ada di dalam hatinya selalu bisa ia suarakan dengan lancar melalui goresan-goresan tinta basah.

Kak Gibran
Nanti pulang bareng aku, ketemu di lobby sekolah. Thanks

Manda mengamati rentetan kalimat yang terpampang sedari tadi di layar handphonenya. Ia masih menimbang-nimbang untuk meng-iya-kan ajakan Gibran. Bagaimana pun kejadian kemarin itu menimbulkan trauma tersendiri bagi Manda.

Klik!

Layar handphone Manda terkunci. Namun Ia masih tak bergeming. Hembusan nafas kasar keluar dari alat pernafasannya dan ia mulai menenggelamkan kepalanya.

Janjinya untuk membantu event yang Gibran rencanakan membuatnya tak bisa lari jauh-jauh dari masalah. Bukannya tidak ikhlas, hanya pertanggungjawaban atas janjinya mengantarkannya terjun ke jurang sekarang.

"Manda, sudah siang!"

Manda mengerjap cepat lalu bergegas memasukkan ponsel dan notebooknya ke dalam ransel. Hanya karena sebuah chat ia bisa melantur sejauh ini.

Jam pertama biasanya menjadi waktu paling aktif karena pikiran masih fresh. Tapi tidak dengan Manda. Semua ini karena mata pelajaran jam pertama sampai jam ketiga nanti adalah sejarah. Bu Desi, sapaan yang sering orang lain lemparkan padanya. Sibuk membaca ulang tulisan yang ada dalam buku paket sejak awal pelajaran. Hal itu memancing kantuk datang lebih awal dari biasanya hampir pada seluruh siswa yang ada di kelas X IPA 4 termasuk Manda.

Drrrtt!!

Manda merasakan getaran yang bersumber dari laci mejanya. Penyebabnya adalah sebuah pesan yang masuk ke hpnya.

"Siapa?"

"Kak Gibran."

"Kenapa?" Manda mengangkat kepalanya sedikit agar bisa menatap wajah Bryan. Ganteng.

"Mau ketemu nanti pulang sekolah."

"Oh."

Setelahnya suasana kembali seperti semula. Setelah memutuskan untuk mengirimkan kata 'ya' pada Gibran, Manda menyimpan ponselnya. Ia meletakkan kepalanya di atas meja dengan beralaskan lengannya. Ia memokuskan pandangnya pada ponsel Bryan yang tergeletak di atas meja tepat di samping kepalanya.

Awalnya tidak ada yang janggal sampai akhirnya layar ponsel itu menyala dan menampilkan fitur record yang Manda tangkap sudah berjalan hampir satu jam.

Untuk apa? Manda mencoba untuk mencari jawaban sendiri. Dan akhirnya ia menyimpulkan rekaman itu untuk merekam semua perkataan yang diucapkan oleh guru.

Tapi ....

"Tolong kalian kerjakan yang di papan tulis. Kalian boleh kemana aja asalkan jangan ke kantin!" Seluruh kelas bersorak gembira.

Manda sudah menyelesaikan tugas dari Bu Desi yang menghabiskan berlembar-lembar buku tulisnya. Dibawah pohon besar di belakang sekolah Manda memejamkan mata ditemani Bryan yang sibuk menyalin tulisan Manda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LatentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang