SENDIRI

61 15 2
                                        


"Akhirnya sampai juga," ujar Pak Kevin sambil mematikan mesin mobil yang meraung kelelahan setelah sampai di depan rumah berwarna kuning gading, yang terletak di sudut barisan perumahan, tertutup pagar panjang cokelat di bagian depan, dan dinding putih tinggi di sebelah kiri kanannya.

Konon kabarnya, tetangga di sebelah kiri, yang rumahnya menghadap dinding keluarga Gen UK, agak sedikit berbeda, unik, dan fantastik. Beberapa paku dan tali jemuran milik mereka terlihat bersarang manis di dinding dan sebuah kursi taman ditanam kuat di depan dinding kiri kediaman keluarga Gen UK.

Beberapa kerabat Pak Kevin mengusulkan untuk menambah pintu di dindingnya, supaya mereka tidak bisa lagi mengakui dinding yang jelas-jelas milik keluarga Gen UK. Namun, Papi, panggilan akrab Pak Kevin, tidak menerima usulan tersebut demi menjaga kehidupan pertetanggaan (maksudnya menjaga kerukunan antar umat bertetangga, gitu. Kalau nggak dijaga bisa ribut, dan terjadilah perang dunia kesekian antar tetangga.)

Pak Kevin membuka pintu mobil, seraya melirik arloji di tangan kirinya, terlihat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Langit sudah semakin gelap, hanya ada bulan dan bintang kecil di langit yang tinggi. Amat banyak menghias angkasa. (eh, jangan dinyanyikan, ya, kepanjangan.)

Dengan langkah tegap, ia membuka kunci gerbang, dan masuk ke rumah. Seperti biasa, Pak Kevin langsung melepas sepatu legendaris kesayangannya, menggantungkan kunci mobil di gantungan berbentuk rumah pohon yang terletak di samping televisi, dan meletakkan dompet, kertas-kertas kecil yang terselip, bahkan tissue bekas yang ia temukan di balik kantong celananya ke atas kulkas yang masih setia berada di dapur.

Segera setelah menenggak sebotol air dingin dari dalam lemari es, Pak Kevin duduk bersandar di atas kursi goyang yang terbuat dari kayu, berwarna coklat, dan mulai memejamkan mata.

Perjalanan yang baru dia lalui demi mengantar istri dan anak-anaknya berlibur ke kampung halaman, terasa sangat melelahkan. Sebagai karyawan yang bertanggung jawab, Kevin E. Tarumanjaya tidak ingin mengecewakan atasannya.

Dan sebagai suami serta Papi yang baik, Ia pun harus tahu bagaimana menyenangkan keluarga, tanpa harus mengorbankan dedikasinya pada Perusahaan PT. Turnajaya Industry.

Selama tiga hari ke depan, suami Ibu Ulfa D. Tarumanjaya ini harus berjuang seorang diri tanpa ada secangkir kopi buatan istri yang selalu tersedia di kala pagi. Tanpa ada suara manis kekasih pujaan hati yang mengisi hari penuh misteri illahi.

Pak Kevin E. Tarumanjaya harus berlelah seorang diri ketika pulang ke rumah setelah seharian berkeliling mencari rezeki, tanpa ada suara dua kurcaci yang berlarian sambil berhaha hihi. Hari-hari akan menjadi lebih sepi tanpa terdengar lengkingan suara anak-anak berteriak menyambut kedatangan Papi.

Membayangkan tingkah kedua anaknya, Pak Kevin tersenyum sambil menarik kumis tipisnya dengan tangan kiri. Ia bergegas menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri sebelum beranjak menuju alam mimpi.

Tiba-tiba dering ponsel yang telah ia letakkan di atas meja kerja mengagetkannya. Langkah ke kamar mandi tertunda, dan digantikan dengan langkah menuju meja.

"Halo, Pi"

"Ada apa, Mi?

"Jam berapa sampai rumah?"

"Sekitar setengah jam yang lalu. Ini sekarang Papi mau mandi," tangan Pak Kevin membuka lemari, mengambil pakaian yang akan dikenakannya seusai mandi.

"Ya udah. Tadi pas perjalanan pulang dah ngampiri tacik e, to?" (tacik maksudnya cici / cece/ kakak / panggilan untuk perempuan yang lebih tua dalam etnis tionghoa di daerah jawa.)

"Lhah lah apa aku ngampiri tacik e to, Mi?"

"Ya beli matengan to, Pi. Mosok lah apa. Pie, to." (maksud Mami, matengan itu sayur atau lauk untuk makan. Orang Jawa mengartikannya begitu)

Gen •UK•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang