ULANGAN JELEK

36 6 4
                                    


"Erina Tarumanjaya."

Bu Sri menyodorkan buku bersampul cokelat di tangan kanannya. Tangan kirinya memegang setumpuk buku lain milik peserta didik kelas 3C. Tak satupun anak-anak menoleh ke kiri dan ke kanan. Mereka duduk rapi, tangan terlipat di atas meja, pandangan lurus ke depan, untuk memastikan namanya disebut, dan itu berarti gilirannya maju ke depan untuk mengambil buku ulangan, dan melihat nilai yang tertera di dalamnya.

Ketika seluh peserta didik sedang serius menunggu namanya disebut, Erina yang saat itu namanya dipanggil, justru sibuk mencorat-coret buku di depannya. Gambar bunga dengan kelopak berwarna kuning terlihat berdesak-desakan dalam satu halaman.

"Erina Tarumanjaya." panggilan kedua dengan tangan Ibu Sri yang masih tetap terulur membawa sebuah buku yang bertuliskan BUKU ULANGAN IPS. Matanya menatap tajam ke arah peserta didiknya yang duduk di baris kedua, dekat jendela itu.

"Woi, kamu, tuh!"

Erina terkejut dan langsung mengarahkan pandangan ke depan, ketika teman yang duduk di kursi belakang menegur dan melemparkan pensil ke arahnya.

Erina melirik buku yang penuh dengan coretan bunga, bintang, hingga benang kusut, kemudian meletakkan pensil tepat di sela-sela bukunya. Ia menggeser kursi ke belakang, berdiri, dan melangkahkan kaki menuju meja Bu Sri untuk menerima buku ulangannya.

"Tiga puluh dua." Suara Bu sri terdengar pelan, sambil menggelengkan kepala. "Jangan lupa tunjukkan nilaimu ini pada Mami atau Papi, minta tolong mereka tanda tangan, setelah itu, besok pagi harus dikumpulkan lagi." Bu guru berambut keriting itu menegaskan pernyataan yang sudah disampaikan di depan kelas sebelum membagi buku ulangan pada anak-anak. Erina membalasnya dengan sebuah anggukan dan bibir berkerut, seraya menggoyangkan kepalanya yang bulat ke depan dan ke belakang.

Erina kembali ke tempat duduk. Buku bersampul cokelat itu ia lemparkan ke atas meja. Mulutnya mengerucut, berputar ke kiri dan ke kanan. Matanya melirik Fery, teman yang duduk di belakangnya.

"Berapa?" tanya Fery seolah tak paham maksud gaya dan lirikan maut Erina. Tangannya berusaha menggapai buku ulangan milik temannya yang bermata bulat dan memiliki pipi yang juga tak kalah bulat itu. Sedetik kemudian terdengar suara tawa yang tertahan, namun cukup mengejutkan buat wali kelas 3C yang sedang serius memasukkan nilai dari buku ulangan ke dalam buku daftar nilai sebelum kemudian ia memanggil satu persatu nama peserta didiknya.

"Semua sudah menerima hasil ulangannya, kan?" tukas Bu Sri seraya merapikan buku-buku yang ada di meja, dan menyusunnya dengan rapi, kemudian berdiri di tengah-tengah kelas.

"Masukkan dalam tas, sampai di rumah minta orangtua kalian tanda tangan, dan besok pagi harus dibawa kembali untuk dikumpulkan. Tidak boleh lupa," sambungnya. "Dan satu lagi, besok tanggal satu Mei, hari libur nasional, anak-anak belajar di rumah. Tanggal dua sekolah seperti biasa. Dan kita mengadakan ulangan Pkn, bab tujuh dan delapan."

Setelah menutup kelas, seperti biasa, anak-anak akan menerima pertanyaan seputar pelajaran, dan barangsiapa bisa menjawab dengan benar, dia boleh pulang. Dan masih tetap seperti biasa, Erina, Ferry, dan lima orang teman yang lain selalu pulang paling akhir, saat Bu Sri sudah kehabisan pertanyaan untuk 33 peserta didik yang lain.

Erina : "Kita selalu pulang paling terakhir, ya." (merapikan meja, menutup restsleting ransel)

Fery : (membungkuk memperbaiki tali sepatu) "Ho'oh. Nek di awal-awal ya podo wae ndak bakal pulang duluan. Emange kamu isa jawab pertanyaan Bu Sri?"

Erina : "Ya ndak tau juga, sih. Eh, Fer, kamu jangan bilang kalo ada ulangan yang dibagi, ya. Bilang ae ndak ada tugas apa-apa," (berdiri, memakai ransel, dan berjalan ke arah pintu.)

Gen •UK•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang