TWILIGHT : Move

4.3K 148 9
                                    

Ini bulan Maret, tepat pertengahan semester.

Yoongi memutuskan untuk pindah dari Phoenix, dan tinggal di Forks bersama Woobin—ayahnya—hal ini dilakukannya karena ia mencoba untuk memberi waktu dan ruang untuk ibu dan suami barunya.

6 tahun lalu ibu dan ayahnya bercerai dan pengadilan memutuskan bahwa ia harus tinggal bersama sang ibu, dan dua bulan lalu tepat pada malam tahun baru, ibunya menikah lagi dengan pemain baseball berkewarganegaraan Argentina.

Suami baru ibunya jarang pulang ke rumah, ia lebih suka tinggal di asramanya daripada rumah, dan Yoongi tidak bodoh jika suami baru ibunya itu masih canggung bertemu dengannya.

Akhirnya ia memilih pindah dan tinggal bersama sang ayah disebuah kota kecil—Forks—tempat kelahiran ayahnya, kota itu ditumbuhi banyak pohon pinus dan selalu diselimuti kabut setiap saat, kota terbasah di negara bagian terbasah. Dan ia berharap keputusannya membuat sang ibu lebih menikmati waktu dengan suaminya, semoga saja.

Tapi ia sudah tinggal bersama dengan ibunya lebih dari 6 tahun, Yoongi rasa ibunya sudah cukup melihatnya tumbuh dan berkembang.

"Kau mengecat rambutmu?" tanya Woobin yang sibuk menyetir, ia sudah sampai Forks beberapa menit yang lalu dan ayahnya segera menjemputnya dibandara.

Yoongi reflek menyentuh rambutnya, "Aku mengecatnya terakhir kali saat bertemu denganmu"

"Seharusnya catnya sudah luntur" gumam Woobin.

Yoongi terdiam.

Mobil polisi Woobin berhenti disebuah rumah minimalis berlantai dua, Yoongi menatapnya sesaat, perasaannya bagai dipermainkan oleh waktu, ia merasa de javu. Ia tersenyum tipis sembari menggenggam erat pot kecil bunga kaktus.

"Aku membiarkan rumah ini rapuh dengan alam," ujar Woobin. "Aku tidak menambah kamar mandinya"

Yoongi menatap isi rumah yang pernah ia tinggali beberapa tahun yang lalu. "Bagus, satu kamar mandi" gumamnya. Woobin membantunya membawa barang-barangnya ke kamar membiarkannya 'reuni' sebentar dengan suasana ini.

"Kau suka?" tanya Woobin saat menunjukan kamarnya, "Nenek penjual itu sendiri yang memilih spreinya! Kau suka warna ungu kan?" Yoongi hanya mengangguk dan bergumam, "Ungu bagus"

Yoongi duduk dikasur single bednya seraya menatap kamar barunya, Woobin berdiri dengan agak canggung, "Ya kurasa kau suka!" ucapnya, pria itu lalu pergi keluar kamarnya.

Yoongi menatap itu sekilas, salah satu sifat terbaik Woobin, dia tidak suka menunggu. Cowok kulit putih itu meletakan pot kecil yang sedari tadi digenggamnya, ia menatap kamarnya dengan binarnya yang mulai hidup.

Ini yang diinginkannya, tidak menjadi pusat kecanggungan semua orang. Ia merasa ini yang terbaik. Sedikit melupakan rasa kecewa ibunya yang ia tinggalkan beberapa jam lalu, bukan, ia sedang tidak ingin membicarakan ibunya.

Membicarakan ibu ditempat yang penuh dengan memori indah keluarga akan membuatmu melihat terus kebelakang, seakan berharap jika keluarga kecilmu akan kembali dan bersatu seperti dulu. Keluarga yang bahagia.

Suara tawa Woobin diluar sana mengalihkan halusinasinya, ia melihat keadaan luar melalui jendela kamarnya. Dibawah sana ia melihat Woobin sedang bergurau dengan seorang pria tua yang duduk dikursi roda dan seorang anak muda berambut panjang yang sedang menyender dimobil pick up tua yang warnanya sudah luntur dan agak berkarat.

Yoongi tidak kenal mereka, atau mungkin lupa, akhirnya ia pun turun kebawah untuk menemuinya. Woobin yang melihat kedatangan putranya itu melambaikan tangannya, "Yoongi ini Kim Namgil, dia pernah jadi badut saat kau berumur 7 tahun"

"Ah Yoongi!" sapa pria berkursi roda itu, "Wow, kau kelihatannya baik" jawab Yoongi dengan senyumannya, anak lelaki itu meliriknya dan ikut tersenyum.

"Ya, kemarin aku baru saja mendaki gunung!" ucapnya bangga seraya meregangkan kedua tangannya, Woobin tersenyum meremehkan, "Ya. Dan setelah itu aku menggelindingkanmu dari gunung! HYAA"

Woobin melancarkan beberapa serangan main-main dan Namgil menggerakan roda-rodanya untuk menghindar, mereka bermain seperti tidak kenal umur. "Apa mereka selalu seperti ini?" tanya Yoongi pada anak lelaki tadi. "Ya. Semakin tua semakin buruk kan?" Yoongi tertawa kecil.

"Hai aku Taehyung!" ucap Taehyung memperkenalkan diri, Yoongi bergumam seolah mengingat namun ia tidak bisa mengingatnya. "Kita pernah memanggang pie cherry saat musim panas" Yoongi tersenyum dan tertawa kecil, "Oh ya? Aku tidak ingat!"

"Ya kurasa lebih baik jika aku mencoba mengingatkanmu!" Yoongi menatapnya, "Itu bagus. Cobalah"

"Jadi bagaimana?" tanya Woobin yang rupanya sudah kelelahan bermain-main, "Apa?"

"Ini!" Woobin menepuk sisi mobil pick up merah yang tadi menjadi senderan Taehyung, "Aku membelinya dari Namgil. Ini hadiah kepulanganmu!" jelas Woobin, Yoongi membulat tak percaya, "Ini? Untukku?" ia menatap Woobin dan Namgil bergantian meminta jawaban.

"Aku memasang audio didalamnya. Lebih dari radio" ucap Namgil. "Aku mengganti setirnya hingga sekarang layak disebut mobil" tambah Taehyung "Jadi apa kau suka?" Woobin bertanya lagi.

"Ini untukku? Oh my god! Ini... ini sempurna, apa kau bercanda?" ucap Yoongi senang, segera ia pun memasuki mobil pick upnya, "Maaf." ia tidak sengaja membuat nyeri tulang kering Taehyung nyeri saat ia membuka pintu mobilnya keras.

Woobin yang melihat putranya senang akan hadiah yang ia berikan pun tersenyum, "Sudah kubilang jika aku berpengalaman dalam menghadapi remaja." ucap Namgil bangga.

Yoongi menatap dalam mobilnya senang sekali, ini yang dibutuhkannya, "Hei, kemarin aku baru saja mengganti koplingnya" ucap Taehyung, "Aku mengerti" gumamnya. Yoongi menatap Taehyung penuh harap.

"Kau mau mengantarku jalan ke sekolah?" ajak Yoongi. Taehyung terkikik, "Aku tidak bersekolah disekolah umum"

Yoongi mendesah kecewa, "Oh ya, sekolah rehabilitasi. Apa kau seorang pecandu?"

Taehyung menggeleng dan tertawa, "Bukan. Bukan. Aku takut jika aku tiba-tiba lepas kendali!"



***

TWILIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang