Prolog

389 13 0
                                    

"Kamu harus menikah!" Ucap Tama pada Brina dengan tegas tanpa bisa terbantahkan.

Brina menatap ayahnya tidak percaya. "Tapi Pa, Brina masih seko-"

"Tidak ada tapi-tapian! Kamu harus menikah! Ini demi masa depan kamu dan keluarga kita!" Potong Tama cepat sambil menatap anaknya dengan tatapan tajamnya.

Wulan hanya diam menatap anaknya. Wulan berjalan ke arah Brina, "Turuti apa kata Papamu sayang. Ini yang terbaik buat kamu." Ucap Wulan lembut dengan senyuman, walau ia terpaksa tersenyum.

Brina manahan air matanya agar tidak jatuh. Percuma kalau ia menagis di depan kedua orang tuanya. Toh, ayahnya juga tidak akan membatalkannya. Sekarang apa? Keinginannya untuk menjadi ini-itu telah menjadi bubur. Semua lenyap begitu saja dalam waktu sekejap.

Kemudian mereka meninggalkan Brina sendirian di dalam kamarnya. Brina mengepalkan tangannya. Ia kesal dengan keputusan orang tuanya yang ingin menikahkannya. Ia tidak tahu akan menikah dengan siapa. Bagaimana bentuk rupanya? Brina tidak tahu.

"Kenapa? Kenapa harus gue yang duluan menikah?! Padahal masa depan gue masih panjang! Kenapa gak bang Deka aja yang nikah duluan?! Kenapa harus gue?!" Brina meremas bantal yang ada di sampingnya dan melemparkannya ke lantai. Seandainya ia bisa memilih hidup sendiri tanpa ada yang mengatur, ia pasti akan memilih hidup sendiri daripada harus menuruti permintaan kedua orang tuanya. Tapi apalah daya Brina, ia harus menuruti itu semua.

"Gue masih kecil! Gue baru saja berumur tujuh belas tahun! Gak ingin apa anaknya senang-senang dulu! Lagian gue juga nikah gak karena cinta! Buat apa kalo seandainya gue cerai?! Jadi janda dong gue!" Gerutu Brina. Brina mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar. Ia kesal. Ia marah, tapi apa boleh buat, Brina tidak mau jadi anak durhaka.

Brina menggeleng dengan cepat ketika pikiran gilanya mulai memasuki otaknya. "Enggak-gak! Gak boleh! Gue gak boleh jadi janda muda! Gila aja gue!" Pekiknya. Brina berpikir ia akan menjadi janda dalam waktu dekat, jika pernikahannya tidak di dasari oleh rasa cinta dan nanti suaminya akan membuangnya karena suaminya hanya menikah dengannya karena terpaksa. Tapi itu hanyalah pikiran Brina yang sudah kacau.

"Gue harus batalin pernikahan sialan itu!" Gerutunya lagi. Masih mondar-mandir berpikir terus-menerus memikirkan bagaimana pernikahan laknat itu bisa di batalkan. Otaknya terus bekerja mencari ide yang pas untuk membatalkan pernikahan itu.

"Nying! Pusing kepala gue!" Keluhnya sendiri. Otaknya juga tak mampu bekerja malampaui batas. Sekeras apapun ia berpikir dan dalam keadaan kesal pasti yang ada hanya gesekan panas yang terjadi di otaknya dan siap untuk meledak kapan saja.

"Gila ya tuh cowok kenapa mau aja di jodohin sama gue!" Brina duduk di tepi ranjang. Berbicara sendiri sedari tadi, seperti orang gila yang berada di dalam rumahnya sendiri.

"Gue aja gak mau, apalagi dia!" Ia menendang kursi yang ada di depannya dengan kesal. Emosinya seakan mau meletup-letup. Ia bagaikan gunung merapi yang sudah ingin meledak mengeluarkan larva yang begitu panas.

"Fuck! Anjir, sakit banget!" Ringisnya ketika kakinya sudah menendang kursi yang tidak bersalah. Dan ia merasakan sendiri akibat yang telah di perbuatnya. Kakinya berdenyut-denyut. Sakit kali ini sangat-sangat menyakitkan, tapi lebih sakit ketika Tama mengucapkan kalimat 'pernikahan laknat' menurutnya yang tidak bisa di bantah.

"Resah gue! Resah!" Brina berteriak agar emosi yang di pendamnya sedari tadi keluar sedikit, walaupun hanya sedikit tapi bisa membuatnya lega tidak apa-apa. Setidaknya kesalnya terbang sedikit terbawa angin malam ke jendela kamarnya yang terbuka dan tergantikan oleh rasa senang yang baru. Ia rela menjerit setiap hari, bahkan berteriak setiap hari juga ia mau, jika ia mendapatkan kebahagian yang baru melaui angin malam. Tapi tidak. Semuanya sudah jalan takdirnya untuk menghadapi segalanya. Menikah di usia mudah dengan orang yang sama sekali tidak Brina kenal. Dan entah orang itu bagaimana bentuknya ia juga tidak tahu. Brina harus terima jadi.

Mengapa semua menjadi begini? Ia harus menurut dan menurut. Karena ia hanya tidak mau menjadi anak yang durhaka kepada orang tua mereka. Cukup Malin saja yang durhaka, aku jangan, pikirnya mulai melantur.

Brina merebahkan dirinya di atas kasur yang empuk. Pikiranya cukup lelah dengan semua ini. Keputusan yang sangat tidak pernah ia bayangkan. Ia hanya pernah membayangkan, jika nanti ia akan menikah dengan orang yang di cintainya. Bukan orang yang seluk beluknya saja ia tidak tahu.

Pikiranya ingin pecah.

"Shit!" Gumam Brina.

"Kenapa harus terjadi pada hidup gue?" Brina mencebikan bibirnya.

Semakin lama ia memikirkan pernikahan sialan ini. Semakin dekat juga akan membuatnya masuk rumah sakit jiwa. Menatap nanar langit-langit kamarnya ketika penglihatannya berubah menjadi buram, karena air mata sudah berada di pelupuk mata dan siap meluncur kapan saja.

Buram dan semakin buram. Ia memejamkan matanya berharap ini adalah sebuah mimpi dan bukan kenyataan. Tapi faktanya ini adalah kenyataan. Ia tak bisa lari.. lari dari kenyataan yang pahit, asam, manis, asin, getir, seperti nano-nano rame rasanya.

Brina terlelap dan menuju ke alam mimpi. Ia berharap bisa mimpi indah, walaupun hanya sekedar mimpi. Dan nantinya akan terbangun dengan kenyataan yang pahit dan getir yang menjalar ke uluh hatinya.









See you next part..

Jangan lupa vote dan komennya..





05 November 2017

Married With StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang