#3

7.7K 74 0
                                    

Suara detik mesin anestesi menggema didalam ruangan VIP yang sedang Devan tempati saat ini. Adara duduk sendirian disebelah Devan yang sedang terpejam. Ia menggenggam telapak tangan Devan, sesekali menelus-elusnya.

Sebuah perban membalut mengitari kepalanyanya. Bekas memar membiru disekitar bibir serta tulang pipi Devan. Infus menempel dipunggung tangan kanannya dan hidung yang tertutup oleh alat pernafasan. Membuat Adara miris melihatnya dan tak kuasa menahan air matanya.

Entah suara atau getaran apa yang membuat Devan bangun detik itu juga. Sontak, Adara langsung menyeka air matanya.

"Devan," lirih Adara tanpa bergerak dari tempat.

Devan mempererat genggaman sebelah telapak tangan Adara. Adara melirik sejenak, lalu beralih menatap Devan. Devan bernafas lega saat mengetahui Adara tidak menolak respon yang diberikan untuknya.

"Dara," panggil Devan dengan suaranya yang serak.

Adara hanya melihat Devan tanpa bersuara.

"Gue sayang lo, Dar. Entah kenapa setiap kali gue lihat lo, emosi asmara gue selalu memuncak dan pengin banget bisa selalu deket sama lo."

"Alay!" Celethuk Adara disela isaknya.

"Lo kenapa nangis sih, Dar. Orang gue nggak kenapa-napa kok. Gue nggak sakit." Kata Devan disertai tawa kecil.

Devan melirik tangan kanannya yang sedang terpasang infus. Dilepasnya genggamannya pada telapak tangan Adara. Lalu, Ia melepas infus tersebut secara paksa seakan tidak ada rasa sakit sama sekalipun. Sehingga mengucur darah segar dari punggung tangan kanan Devan.

"Devan, lo apa-apaan sih. Lo tuh lagi sakit, malah dilepas infusnya. Sakit jiwa lo, ya." Ledek Adara dengan ekspresi setengah paniknya, karena melihat perbuatan konyol yang dilakukan Devan pada dirinya sendiri barusan.

Seketika telapak tangan Devan yang sedang mengalirkan darah segar mengusap pipi kiri Adara lama. Sontak membuat Adara berhenti bergerak. Devan mengelus-elus pipi Adara menggunakan ujung jari jempolnya.

"Ini bukti, bahwa gue beneran suka atau bahkan sayang sama lo. Gue kira, gue bakalan mati. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, karena takdir belum mempertemukan kita dalam kisah cinta yang sebenarnya."

"Alay kuadrat!" Celethuk Adara seraya meraih tangan Devan yang bertengger dipipi kirinya.

Ingin maksud Adara melepaskan tangan Devan dari pipinya, namun Devan sedang menatapnya dalam.

"Eh, um.... gue panggilin dokter ya, apa suster aja?" Tawar Adara mencoba mengalihkan pandangan untuk menghilangkan perasaan gugupnya kepada Devan saat ini.

Adara mencoba bangkit dari duduknya. Akan tetapi gerakannya terhenti oleh tangan kanan Devan, yang tiba-tiba menarik baju bagian depan milik Adara.

"Nggak usah." Lirih Devan pelan.

Adara menatap wajah Devan dengan ekspresi takut akan balasan dari tatapan Devan. Dengan gerakan perlahan Devan menarik baju bagian depan milik Adara, menghapus jarak diantara mereka berdua. Tanpa bisa menolak perlakuan Devan saat ini, Adara pun mengikuti pergerakan yang dilakukan Devan kepadanya. Adara mencoba menahan pergerakan Devan dengan memegang lengan Devan bagian atas.

Pandangan mereka beradu untuk beberapa detik terakhir ini. Sejurus kemudian dengan gerakan cepat, Devan mengangkat kepalanya serta membuka alat bantu pernafasan yang menutupi mulut dan hidungnya menggunakan tangan kirinya.

 Adara memjamkan kedua bola matanya saat Devan menempelkan bibir pada bibirnya. Seketika Adara membuka celah pada bibirnya saat Devan sudah menempelkan bibirnya. Seketika itu pula, kedua mata Adara menitikkan air mata sesaat setelah matanya terpejam.

Disisi lain, Devan justru membuka kedua matanya seraya menikmati ciumannya saat ini. Sebenarnya ia melihat Adara sedang menangis, namun nafsu mengalahkan segalanya. Merasa Devan semakin gencar menarik baju bagian depan sambil mencium bibir Adara, Adara pun mempererat cengkramannya pada lengan Devan bagian atas. Sedangkan tangan kanannya ia tempelkan pada ujung rahang Devan.

Beberapa detik setelah itu, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Sontak mereka berdua menoleh ke sumber suara. Sedetik setelah itu Devan langsung melepaskan pegangannya pada baju bagian depan Adara. Seketika itu juga badan Adara langsung berdiri tegak. Sedetik setelah ia memutar badannya, buru-buru ia mengusap air matanya yang sedari tadi mengaliri kedua pipinya.

Adara memutar knop pintunya. Ia terjingkat saat tahu bahwa yang datang adalah segerombolan anak-anak futsal yang mana mereka adalah teman-teman Devan.

"Eh, kalian." Ujar Adara tanpa berani menatap gerombolan dari anak-anak futsal, dengan maksud menyembunyikan wajahnya bekas ia menangis.

"Eh, Adara." Sahut Bagas disertai cengiran konyolnya.

"Eh, Devan gimana?" Sahut Bian kemudian, sambil maju satu langkah dari barisan gerombolannya.

"Dia udah sadar, kalian masuk aja nggak papa, udah dibolehin kok." Jawab Adara dengan nada pelan namun masih dapat didengar.

"Eh tapi, kita nggak ganggu kan barusan?" Tanya Bian memastikan.

"Nggak kok." Singkat Adara.

Dengan gerakan mendahului, Bian memasuki ruangan kamar tersebut. Saat segerombolan anak-anak futsal sudah masuk kedalam kamar semua, justru Adara perlahan melangkah keluar dari kamar tersebut tanpa sepengetahuan siapapun.

Adara menghela nafasnya kasar. Lalu ia berjalan cepat sambil menunduk menuju kamar mandi. Sesampainya dikamar mandi rumah sakit yang didesain seperti kamar mandi mewah pada umumnya. Terdapat kaca besar yang memenuhi dinding kamar mandi saat pertama kali memasuki kamar mandi tersebut. Dengan dua wastafel didepan kaca besar, Adara berhenti didepan kaca tersebut. Ia melihat dirinya didepan kaca, terpantul wajah dan setengah badannya dari kaca itu. Mata Adara sudah membendung sedari tadi, sejurus kemudian tangisnya pecah saat ia mengingat kejadian barusan yang dilakukan Devan kepadanya. Ia menarik pelan rambut dikepalanya yang tergerai panjang sepunggung menggunakan kedua telapak tangannya.

"Gue juga sayang sama lo, Dev." Lirih Adara, disela isak tangisnya.

Dara & DearestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang