Chapter #1 - Cerita Pulang Sekolah

318 7 0
                                    

Hari yang cukup terik untuk para pelajar mejalani aktivitas siang ini. Sudah pukul 1 siang, saatnya untuk seluruh siswa SMA Yudhistira melanjutkan aktivitasnya setelah pulang sekolah seperti biasa. Entah itu ekstrakurikuler maupun jam tambahan bagi kelas-kelas tertentu. Begitu juga dengan Dara yang sedang berkemas bersiap pulang untuk mengikuti les privat di rumahnya karena sudah kelas 12.

"Pulang bareng siapa, Dar?" tanya Ricky yang sudah selesai berkemas duluan.

"Biasalah, gimana sih?!" Jawab Dara dengan raut wajah sebal.

"Oh iya, lupa." Ujar Ricky sambil cengengesan.

"Gue sama dia itu udah setahun Ky, plis deh gak usah sok-sokan lupa mulu."

"Ehm!" tiba-tiba suara deheman itu datang dari dekat pintu masuk. Seketika pandangan Ricky dan Dara beralih ke sumber suara.

"Eh, udah maen dateng-dateng aja nih." Gumam Ricky sambil bersiap keluar dari bangkunya yang berada disebelah Dara.

"Bilang apa lo barusan?" tanya Dara yang tak sengaja mendengar ucapan Ricky meskipun tidak jelas.

"Nggak ada, ya udah gue duluan. Buruan, udah ditungguin tuh." Ujar Ricky pelan seraya menepuk bahu Dara, lalu melenggang pergi. Dara yang masih tinggal dibelakang hanya bisa mengumpat sebal terhadap Ricky. Tapi itu sudah menjadi makanan sehari-hari Dara.

Pandangan Ricky dan Devan sempat bertemu, ketika berpapasan diambang pintu masuk kelas. Tak ada kesal atau dendam kepada satu sama lain, mereka berdua pun saling menganggukan kepala tanda pertemanan. Meskipun tidak ada senyum diantara mereka, namun Ricky tetap berusaha damai dengan menepuk bahu Devan tanpa bicara sepatah katapun, lalu segera pergi. Setelah dirasa kelas sudah sepi, Devan memasuki kelas Dara dengan santai.

"Udah belum? Yuk!" Ajak Devan ketika sampai dihadapan Dara yang sudah siap untuk beranjak. Dara hanya terseyum seraya menganggukan kepala yang langsung dibalas senyum hangat dari Devan. Mereka berdua berjalan beriringan keluar kelas sambil tangan kanan Devan merangkul lembut bahu Dara. Dari kejauhan Bagas, Bian dan teman-teman tim futsalnya melihat perlakuan Devan ke Dara dengan tatapan miris. Miris dengan keadaan mereka sendiri.

"Jombol bisa apa?" tanya Bian pada diri sendiri.

"Emang lu nggak bisa apa-apa kok, Yan." Timpal Bagas dengan nada yang dibuat sedih.

"Enak aja, lu juga jomblo!"

"Tapi gue masih bisa–"

"Bisa apa, haa? Bisanya cuma nyinyir doang, bangga!" sahut Bian seraya menoyor kepala Bagas tanpa ampun, begitu juga sebaliknya.

Mobil Devan melaju dengan kecepatan penuh, karena jalanan sedang lenggang. Tanpa memikirkan perasaan Dara disampingnya, karena dirasa sudah biasa dengan perlakuannya saat menyetir mobil. Namun tiba-tiba, mobil Devan berhenti mendadak hingga terdengar suara ciutan ban bergesekan dengan aspal. Membuat tubuh Dara hampir saja membentur dasbord secara mendadak pula, namun dengan gerakan sigap ia menahan menggunakan kedua tangannya.

"Eh, sayang kamu nggak papa kan?" tanya Devan tanpa memperhatikan keadaan Dara saat ini karena perhatiannya terfokus oleh ponsel disaku seragamnya. Dara yang melihat Devan hanya mengerucutkan bibir sebal.

'Apa-apaan sih dia, gue kan disini malah yang dilihat hp-nya, yang bener aja dong, hey!' umpat Dara dalam hati dengan ekspresi kesal dari tadi yang sengaja ia tampakkan kepada Devan. Devan seperti sedang mengangkat telepon dari sesorang.

"Halo, ma. Ada apa? Ha-halo?" kata Devan saat sedang bertelepon, tapi rupanya jaringan telepon sedang bermasalah atau ada suatu hal lain, tidak tahu. Beberapa detik setelah itu Devan segera mengakhiri teleponnya yang tidak berlanjut tersebut dan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku seragam.

"Dara kamu nggak papa?" tanya Devan yang lansung mendekat ke arah Dara seraya memegang kedua bahu Dara agar menghadap ke arahnya. Terdengar dari suara Devan yang sebenarnya, khawatir. Dara masih terdiam sejak mengetahui kalau ternyata yang telepon tadi adalah orang tuanya. Devan yang sedari tadi menatap Dara pun membelai rambut belakang Dara, kemudian menyelipkan anak rambutnya yang menyapu sebagian wajahnya. Dara tak membalas tatapan Devan, ia hanya menunduk. Entah apa yang sedang ada dipikirannya saat ini.

"Aduuhh, makanya kamu ini kalo lagi jalan gini pakai seatbelt-nya dong!" Ujar Devan sambil menarik seatbelt disamping kiri jok Dara. Dengan jarak yang sangat dekat seperti ini, membuat Dara bisa mencium aroma tubuh Devan yang khas. Tak butuh waktu lama Devan memakaikan seatbelt untuk Dara dan kembali ke posisi semula. Hanya dengan perlakuan kacil seperti itu sudah membuat hati Dara luluh kembali. Seketika Dara tersenyum salah tingkah sambil memalingkan wajahnya. Devan memang jago sekali jika disuruh membuat dua suasana sekaligus.

"Um.. tadi, mama kamu ya?" tanya Dara kembali membuka percakapan setelah bernafas lega.

"Iya." Singkat Devan yang kembali fokus menyetir.

"Kenapa tadi?"

"Nggak tahu nih mama, tadi pas udah aku angkat tiba-tiba dimatiin lagi."

"Oh, ya? Ada apa ya kira-kira?"

"Salah sambung kali." Jawab Devan santai.

"Salah sambung? Kok bisa?"

"Mungkin niatnya mau telpon kakak." Jawab Devan masih santai, sambil fokus menyetir dengan kecepatan lebih pelan dari sebelumnya.

"K-Kakak???" tanya Dara seraya mengernyitkan kening, karena yang ia tahu selama ini Devan tidak punya kakak ataupun saudara perempuan lainnya. Seketika Devan memutar otak untuk mengakali ucapanya barusan.

"Eh, m-maksudnya kakak sepupu aku. Kak Bella, tau kan? Istrinya Bang Darren." Jawab Devan, yang membawa-bawa nama anak dari kakak Mamanya. Tak mau berpikir panjang dan menambah masalah, Dara pun mengiyakan ucapan Devan barusan.

Sepuluh menit kemudian mobil Devan terparkir didepan gerbang rumah Dara. Devan melepas seatbelt-nya lalu menoleh kearah Dara.

"Hadeh kebiasaan." Dengus Devan ketika melihat Dara tidur dengan nyenyak di jok mobil sampingnya. Ia pun mendekati Dara dengan gerakan sangat pelan. Ia ingin membangunkan kekasihnya ini tanpa ingin membuat kesal.

"Sayang, bangun udah sampai nih." Lirih Devan seraya menarik dagu Dara perlahan menghadap ke arahnya. Ia elus lembut pipi kanan Dara.

Merasa wajahnya ada yang menyentuh, Dara segera membuka mata. Setengah terkejut karena tiba-tiba muncul wajah Devan dengan jarak cukup dekat. Melihat Dara terbangun, Devan langsung menampakkan senyum terbaik menurutnya.

"Udah sampai ya, kok–" ujar Dara sambil menegakkan tubuhnya.

"Baru aja sampai sayaaangg." Buru-buru Devan menyahuti, sebelum terjadi kesalahpahaman yang sudah sering terjadi ini. Segera Dara melepas seatbelt-nya, lalu membuka pintu mobil dengan hati-hati.

"Dilihat dulu belakang ada kendaraan gak." Sahut Devan seperti biasa, selalu memperingati dengan lembut. "Behenti didepan ku dulu sebelum masuk, jangan lupa!" lanjut Devan dengan ucapan cepat.

Karena posisi Dara berada disebrang rumahnya, mengharuskan ia untuk mengitari mobil Devan, lalu berhenti didepan pintu mobil sebelum masuk rumah seperti biasanya.

"Nanti malam aku ke rumah kamu, okay." Kata Devan sambil cengengesan.

"Loh Dev, kamu kan tahu kalo mama aku nggak ngizinin kamu kesini malem-malem." Ujar Dara yang langsung panik.

"Udah.. Devan kan akalnya banyak." Lanjut Devan kemudian.

"Eh, ng-ngak usah aneh-aneh deh Dev." Ujar Dara malah tambah panik.

"Pokoknya! Kalo kamu nolak aku marah, bye sayang!" Ujar Devan mengakhiri obrolannya sebelum akhirnya ia langsung menyetater mobilnya, seraya mencium punggung tangan Dara yang dari tadi bersandar dijendela mobil Devan yang terbuka setengah.

Belum sempat Dara mengucapkan larangan selanjutnya, mobil Devan sudah keburu berlalu dari hadapannya. Ia hanya bisa mendenggus sebal, sambil menatap kepergian mobil Devan dari belakang yang melaju cukup kencang. Dara pun masuk ke rumah, karena harus segera mengikuti les privat.

to be continue...

Dara & DearestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang