Lucu ya, aku masih terus saja bertahan di posisi yang sama tanpa tau kamu sedang di posisi mana dan dengan siapa.
-El-
Gadis itu duduk di balkon kamar dengan mata menatap lurus ke arah langit yang malam ini sangat cerah dengan taburan ribuan bintang di setiap sudutnya. Angin malam yang semilir berusaha membuat gadis itu kedinginan agar ia masuk ke dalam kamar. Tapi nihil, ia tidak bergerak. Udara malam yang dingin seakan tidak terasa di kulitnya. Beku, seluruh perasaan yang ada di hidupnya seakan sudah berubah menjadi hambar, tak terasa apapun.
Elvina Seeva, seorang gadis yang sejak pagi itu berubah menjadi lebih dingin lagi. Beku, tak tersentuh, dan sangat dingin hingga mencapai minus 0 derajat. Ekspresinya datar, sorot mata dingin, dan bibir yang terkatup rapat. Persis seperti manekin, hanya saja yang membedakan gadis itu masih bisa bergerak dan berkedip. Hanya sebatas itu.
Ia masih tetap terdiam ketika seorang gadis memeluknya dari belakang. Ara benci perubahan ini, Vina menjadi semakin tidak terkontrol. Ia paham bagaimana rasa sakit yang dialami gadis itu, itulah mengapa sejak kemarin Ara masih terus murung melihat keadaan Vina yang terlihat baik-baik saja namun sebenarnya tragis.
"Masuk yuk Vin, ini udah malem dan lo udah dari tadi lo disini, udara malem itu dingin dan nggak baik buat kesehatan lo Vin."
Hening, Ara meneteskan air matanya untuk kesekian kali melihat Vina yang seakan-akan sudah kehilangan kosakata dan perasaan manusianya. Dia berubah, menjadi sejenis patung atau entah apalah itu. Yang jelas, dia bukan Vina yang akhir-akhir ini mereka kenal.
"Ara, papa mau bicara sebentar sama Vina." ucap tuan Seeva tegas dengan nada yang sedikit menyiratkan rasa sakit.
Ara mengangguk dan melepaskan pelukan dari Vina sebelum berlalu dari tempat itu untuk memberi ruang.
"Vina."Gadis itu tidak berubah dari posisinya semula. Tetap diam walaupun seluruh indranya masih berfungsi dengan baik sampai detik ini.
"Vina, tolong hargai kalau papa sedang bicara."
Vina menolehkan kepalanya, dari posisi ini gadis itu hanya bisa melihat siluet seorang laki-laki sedang memasukkan kedua tangannya di saku celana. Itu papanya, salah satu orang yang berpartisipasi dalam hal menyakiti perasaannya sejak dulu.
"Ini semua papa lakukan juga buat kamu Vin, papa nggak bisa berbuat apa-apa selain mengambil keputusan tersebut. Dan papa mohon, kamu harus terima keadaan ini. Papa nggak mau kamu celaka, kamu ngerti sendiri kan kalau selain menjadi direktur perusahaan, papa Varo juga pernah menjadi pemimpin jenderal angkatan perang milik Jerman. Papa cuma nggak mau terjadi sesuatu yang berbahaya sama kamu."
Laki-laki itu menghembuskan nafas pelan dan berjalan mendekati Vina.
"Mamanya Evelyn adalah sahabat dari ayahnya Varo sejak SMA. Karena dulu mama kamu udah bantuin ayahnya Varo, beliau jadi merasa memiliki hutang budi kepada kita. Untuk hadiah ulang tahun Evelyn, gadis itu minta seluruh warisan papa diserahkan ke kamu asalkan dia yang akan dinikahkan dengan Varo. Anggap aja semua ini adil ya Vin. Papa percaya kamu lebih ngerti dan dewasa dalam menyikapi hal ini." ucap tuan Seeva dan berlalu pergi dari ruangan itu.
Dewasa.
Dewasa juga untuk berkorban?
Dewasa juga untuk menerima bahwa hatinya retak, hancur, tak berbekas?
Dewasa juga untuk mengerti bahwa mereka harus berpisah?
Dewasa untuk apa?
Untuk menerima bahwa melihat seseorang yang kita cintai harus bersanding dengan orang lain, dan orang lain itu saudara kita sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDANEL (2)
Roman pour AdolescentsAkankah jarak membuat kita lebih dekat? membuat kita bahagia pada akhirnya? atau bahkan jaraklah yang menjadi orang ketiga hingga membuat kita saling tersakiti? Aku mencintaimu, mencintai setiap hal yang berkaitan denganmu, tak terkecuali jarak. Bis...