Part 6

47.4K 1K 135
                                    

Semua orang menoleh ke arah pintu masuk tanpa kutahu siapa yang memulai menyebutkan kedatangan kami. Perlahan langkah kakiku mendekat ke tempat acara, dan dalam waktu yang sama kini hampir semua yang berada di sini menatapku dengan tersenyum. Bahkan, meskipun tidak jelas aku bisa melihat raut kelegaan dari wajah Ayah, Bunda, Papa, Mama, maupun Ave. Nada tersenyum ke arahku, dan aku hanya mengangguk kecil sebagai tanda bahwa aku merestui pernikahan ini. Semua terasa hikmat, hingga secara perlahan Om Revan menyebutkan nama Ave yang kutahu panjangnya sedikit tidak manusiawi. Poor Om Revan. Beruntung Ave juga bisa melakukan hal yang sama, dan ketika kata sah menggema di seluruh ruangan, aku dapat melihat raut kelegaan dari semua orang.

"Kalian kapan?" tanya Tante Alexa yang tidak lain adalah Mama dari Kak Daffa. Entah sejak kapan Beliau sudah berdiri di hadapanku, yang ada di samping Kak Daffa.

Aku hanya tersenyum kaku, dan begitu sadar akan kedekatan kami, aku langsung menjauhkan diri dari Kak Daffa. Lain halnya denganku yang sedikit gugup, Kak Daffa hanya menggaruk kepala belakangnya sambil nyengir tidak jelas.

"Maaa," rengeknya kemudian. Aku menatap pada sosok Kak Daffa yang berubah drastis. Kekanakan! Ternyata orang setengah tua ini masih saja bisa merengek kepada Mamanya.

"Bil," panggil Tante Alexa, mengalihkan perhatiannya kembali padaku.

"Iya, Tant?"

"Tolong cariin calon Istri buat Daffa, tuh. Tante udah bosen nyuruh dia nikah, katanya nanti-nanti-nanti dari sepuluh tahun yang lalu. Sekarang malah keduluan Ave."

Aku tersenyum masam dan menggumam pelan, "Aku aja nggak punya calon, Tant! Masa iya mau cari calon buat orang lain."

"Apa, Bila?"

Ishhh, sepertinya gumamku terlalu keras sampai Tante Alexa mendengarku. Bila bodoh!

"Dia sendiri aja belum punya calon, Ma! Masa iya Mama minta dia nyariin buat aku," cibir seseorang di sebelahku. See, mulutnya memang selalu tajam.

Aku tertawa masam kepada Tante Alexa mendengar ucapan Om-Om yang tak laku dan tak sadar diri di sampingku. Setelahnya memberikan tatapan tajam padanya yang dibalas dengan dia mengalihkan pandangan.

"Kalau begitu kalian sama-sama cari jodoh, kenapa nggak nikah aja?

"HAH! BILA, TANTE?" ucapku horor sambil menunjuk hidungku sendiri. Berharap aku salah dengar, tetapi harapanku pupus saat orang di sampingku kembali berkata dengan kalimat datarnya.

"Aku, Ma? Sama bocah labil ini?"

"Aku nggak labil. Lagian siapa juga yang mau sama Om-Om setengah tua!" balasku tidak mau kalah. Enak saja dia mengatakan aku labil.

"Lagian ya, Tant. Kita kan sepupu, mana boleh menikah?" ucapku mencoba menetralkan suasana.

"Boleh, siapa bilang tidak boleh? Coba saja kamu tanya sama Ayahmu. Mungkin dia lebih paham,"

Eh?

Aku baru mendengar hal ini. Selama ini yang kutahu kalau saudara sepupu adalah masih saudara, dan dilarang menikah secara agama. Selanjutnya rasa penasaran menyelimutiku hingga aku memutuskan pamit dari Ibu dan Anak yang ada di hadapanku, kemudian berlalu untuk menghampiri Ayah yang ada di sudut ruangan. Di sampingnya terlihat bunda yang menemani.

"Yah," tegurku, begitu aku memberikan salam kepada keduanya. Kini aku bergelayut di lengan Ayah, supaya pembicaraan ini tidak terdengar oleh orang lain.

"Anak ayah udah nemuin pawangnya, ya? Kemarin Ayah sama Bunda ke rumah katanya nggak mau datang?" tanya Ayah yang membuatku bingung harus menjawab apa.

BilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang