Part 5

50K 1K 136
                                    

Apakah aku terlihat seperti wanita egois yang tidak memikirkan perasaan saudara sepupuku? Jawabannya adalah iya, aku memang egois. Namun, sebesar apa pun keinginanku untuk datang ke sana, tetap saja nyaliku menciut. Aku takut akan membabi buta jika aku berada di sana pada saat prosesi sakral itu berjalan, dan justru akan mengacaukan semuanya. Bukankah hal itu lebih buruk daripada aku berdiam diri di rumah?

Aku masih ingat dengan jelas kalau besok pernikahan Ave akan dilaksanakan. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya jika setiap hari Papa Alvin menelepon hanya untuk memintaku datang, terakhir kemarin pagi Ayah dan Bunda mampir ke rumah kontrakanku sebelum bertolak ke Surabaya. Keputusanku sudah final, yaitu memilih menyembunyikan batang hidungku.

Pagi tadi Rian mengajakku untuk menonton. Awalnya aku ingin menolak karena sedang malas keluar, tetapi setelah kupikir menonton mungkin bisa mengalihkan perhatianku. Dan, di sinilah aku sekarang, dalam perjalanan menuju rumah dari bioskop.

"Bil, aku laper banget. Ada makanan, nggak?" tanya Rian dengan suara berbaur angin.

"Ya udah, nanti aku masakin. Lagian tadi diajakin makan dulu pakai acara nolak segala," ujarku setengah mencibir. Tadi sebelum film dimulai aku mengajaknya makan, tetapi dengan alasan takut terlambat dia menolak usulku. Huh.

"Takut telat, sekarang belum jam sembilan, kan? Jadi nggak papa lah ya aku mampir."

"Hemm!" jawabku malas.

Tiba di rumah, dengan seenaknya Rian mengusirku menuju dapur. Belum tahu saja dia kalau dapur hanyalah pelengkap dalam rumah ini. Biasanya Fadli yang akan dengan senang hati memasak berbagai makanan, sementara aku hanya membantunya memotong sayur. Astaga, Bilaaaa! Kenapa otakmu kembali memikirkan manusia bernama Fa... Ishhh.

Setelah berkutat di dapur sekitar tiga puluh menit, akhirnya aku membawa dua mangkuk masakan yang masih mengeluarkan asap. Humm, lumayan.

"Mari makan!" ucapku semangat kepada Rian yang sedang menonton televisi.

Dia memandangku heran, seakan ada yang salah pada diriku. Aku mengamati penampilanku, dan semua tidak ada yang salah.

"Ini makan malamnya?"

"Iya. Ayo dimakan!"

"Nggak salah, Bil?" tanya Rian kembali. Dia memandang meja dan kemudian kembali memandangku.

Aku semakin mengerutkan kening melihat tingkah aneh Rian.

"Kenapa, sih?" ujarku penasaran.

"Masa iya kita makan malam cuma sama mie rebus bonus telur, Bil? Memangnya nggak ada menu lain? Nasi goreng, mungkin?" protesnya.

Aku terkekeh pelan mendengar protesnya. Jadi, Rian tampak seperti orang bodoh hanya karena aku memasak mie instan. Ck!

"Kalau mau silakan dimakan, kalau nggak mau, ya udah tinggalin aja. Lagian, lagi nggak ada stok makanan," ucapku masa bodoh.

Rian menggelengkan kepala dan kembali bersuara "Kalau bilang dari tadi kan, kita bisa mampir beli makan."

Aku memilih mengabaikan ucapan Rian, dan mengambil mie bagianku. See, walaupun protes Rian juga tetap memakannya.

"Ehm...."

Aku mengalihkan perhatian dari layar televisi untuk melihat tamu tidak diundang. Kami sudah menyelesaikan makan sejak beberapa menit yang lalu, dan saat ini sedang sibuk menonton siaran televisi.

"Om... eh, Kak!" ucapku terbata. Otakku belum sinkron dan belum menemukan alasan makhluk di depan pintu bisa sampai di rumahku dengan tangan bersedekap di dada dan badan menyandar ke daun pintu. Itu bukan hantu, kan?

BilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang