Part 4

52.2K 1K 119
                                    

Aku memanfaatkan waktu yang ada untuk bekerja dan terus bekerja. Sejak musibah itu datang aku tidak mengenal lagi apa yang namanya nongkrong ataupun nonton. Berangkat sepagi mungkin dan pulang saat larut malam adalah kegiatanku saat ini. Melihat matahari adalah hal yang sangat kuhindari, karena semua itu hanya akan mengingatkanku pada sosok yang sukses mengombang-ambingkan hidupku. Dia Fa, sahabatku dulu.

"Mbak Bila, udah malem. Nggak pulang?" tanya juniorku, Rian. Dia adalah junior yang selama ini membantuku dalam pekerjaan, termasuk orang yang bisa dititipi untuk membeli makan siang saat aku enggan menatap matahari.

"Bentar lagi, An. Kamu sendiri kenapa belum pulang?"

"Mbak Bila kenapa sih, beberapa waktu ini pulang malem terus? Padahal laporan keuangan nggak ada masalah, kan? Nggak baik tahu mbak, pulang malem terus, ditambah siang juga nggak pernah keluar. Nanti bisa stres, loh," ujar Rian yang hanya kubalas dengan dengusan.

"Mbak Bila lagi patah hati, ya?" tambahnya lagi. Tebakan yang sangat tepat sasaran.

"Kalau Mbak Bila diam, berarti tebakan saya bener, ya? Masa hari gini patah hati sih, Mbak? Masih banyak lelaki berkeliaran yang belum laku, termasuk saya. Hehehehe!"

Aku mendengus kesal mendengarkan ocehan Rian. Bahkan aku tidak menyadari kalau juniorku yang waktu pertama kali pendiam, kini sudah berubah menjadi lelaki yang begitu cerewet. Astaga, kurasa dia sekarang lebih cerewet daripada aku. Ck.

"Dari pada kamu cerewet gitu mending sekarang pulang deh, An! Telinga saya udah panas dengerin ocehan kamu!"

Bukannya diam, Rian justru tersenyum kecil mendengar omelanku.

"Pulang!" usirku saat dia sudah kembali membuka mulutnya.

Kalau saja saat ini aku bisa menulis di jidat, aku ingin menulis dengan huruf kapital dan font 72 "SENGGOL BACOK!" Saat mood sedang buruk dan diganggu sangat tidak menyenangkan, bukan? Itulah yang kualami sekarang.

"Tuh kan, Mbak Bila aneh! Sekarang demen banget marah-marah. Kayanya perlu liburan deh, Mbak Bila cuti aja, saya bisa kok handle kerjaan. Atau, nih, ya, Mbak kalau kata bapak saya orang yang suka marah-marah itu minta dikawinin. Apa Mbak Bila mau kawin juga?"

Arghhhhhh, Rian dodol!

"Rian Dewanta yang tampan tiada tandingan, saya ingin sendiri jadi minta tolong kamu segera pulang, oke?"

Sia-sia dengan kata-kata tegas, aku mengubah permintaanku dengan memasang wajah memelas. Aku sedang tidak ingin berbasa-basi, dan seharusnya Rian tahu itu karena dia selalu berada di sekitarku selama ini. Namun, seakan menutup mata dia justru semakin gencar menggangguku. Bahkan, walaupun dia junior tetapi dengan ketidaksopanannya dia tidak segan-segan menyeretku jika aku menolak makan siang. Saat aku memarahinya dia justru berkata, kuota makan di kantor sudah melebihi batas. Bocah sinting.

Fiuhh, seandainya saja usia dia tidak terpaut lebih muda dua tahun dariku, mungkin aku bisa memanfaatkannya sebagai tokoh dalam hidupku. Seperti novel kebanyakan mungkin, jadi aku bisa menjadikan Rian sebagai suami kontrak. Dengan begitu, aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaan seputar masalah penikahan yang membuat kepalaku berasap. Namun apa mau dikata, Rian hanyalah berondong yang ada di sekitarku.

"Tuh kan, malah ngelamun!"

Astaga ini bocah sinting masih saja ada di hadapanku.

"RIANNNNNNNN!"

"Ampun, Mbak! Iya saya pulang sekarang, satu lagi mbak jangan marah-marah nanti cepet tua."

Rian kembali berucap sambil cengengesan dan memamerkan giginya. Kalau dia tidak segera menutup pintu setelahnya sudah pasti remote AC yang kulempar akan tepat mengenai kepalanya.

BilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang