Extra Part -- Daffa (5)

39.1K 1.2K 127
                                    

Waktu selalu memerankan perannya dengan baik.

Setelah malam kejujuran Bila, hubungan kami bisa dikatakan mulai membaik. Dari Bila aku belajar untuk peduli dengan orang lain, dia selalu marah-marah kalau aku lupa mengirimkan pesan saat jam kerja. Dari Bila aku belajar berbagi, saat sampai rumah aku bisa menceritakan hal-hal kecil masalah pekerjaan walaupun aku ragu dia mengerti atau tidak.

"Pak Daffa, kalau ada kenalan atau teman IT yang ada di Jogja boleh dikenalkan sama saya, ya?" ujar Bu Erma, kepala HRD saat kami selesai meeting akhir bulan.

"Buat apa, Bu?"

"Kebetulan Pak Thomas mengundurkan diri karena akan pulang ke kampung halaman di Medan, jadi saat ini posisi di sana kosong."

Ingatanku langsung tertuju kepada Bila, akhir-akhir ini kami sering beradu mulut karena dia mengaku bosan dan ingin bekerja. Selain itu, dia selalu memintaku agar pindah ke Jogja karena di Bandung merasa kesepian. Aku rasa mengisi kekosongan posisi cabang di Jogja tidak ada salahnya.

"Bagiamana kalau saya saja, Bu?" tawarku mengajukan diri.

"Kalau Bapak yang ke Jogja lalu posisi di sini bagaimana?"

"Mudah, Bu. Kalau di Bandung, saya ada beberapa teman waktu kuliah nanti saya bisa hubungi mereka yang sekiranya berminat dan cocok."

Bu Erma terlihat mempertimbangkan usulku, akhirnya Beliau berkata akan menyetujui asalkan aku sudah membawakan dia IT untuk posisi di Bandung.

Satu minggu kemudian, aku sudah membawa surat mutasi setelah sebelumnya memperkenalkan Bu Erma kepada Romi, temanku saat kuliah. Aku yakin pasti Bila akan senang saat melihatnya nanti.

**

"Kyaaaaaaaaaaaa! Kakak, ini beneran?"

Seperti dugaanku sebelumnya kalau Bila akan senang saat melihat surat mutasi yang diberikan Bu Erma. Benar saja, sekarang dia berteriak kencang sampai-sampai membuatku menutup telinga. Beruntung aku berada di kamar mandi, entah bagaimana kencangnya dia berteriak kalau aku ada di dekatnya.

"Jangan teriak kaya di hutan, Bila!"

"Itu juga Kakak teriak jawabnya."

Ups! Daffa bodoh, ternyata aku justru ikut berteriak menjawab Bila. Selesai membersihkan diri, aku menemukan Bila yang tersenyum sendiri sambil mengipaskan surat mutasi yang ada di tangannya.

"Berhenti tersenyum terus, Bila! Nanti kalau ada yang melihat kamu dikira gila," tegurku sambil mengeringkan rambut, tetapi tampaknya dia memang sedang sangat bahagia, senyumnya masih terukir di wajah.

"Kok bisa?" tanyanya kemudian.

"Kebetulan IT di sana sedang kosong jadi, aku minta buat pindah."

"Lah, berarti perusahaan Kakak punya cabang di Jogja?"

"Iya."

"Kenapa nggak bilang-bilang?"

"Kamu tidak pernah bertanya, bahkan aku kerja di mana juga tidak tahu, bukan?"

Aku menggelengkan kepala geli melihat Bila yang masih tersenyum sendiri. Aku segera mengambil surat mutasi dari tangannya dan duduk di tepi ranjang. "Berhenti tersenyum, heh!"

Ekpresi bahagia yang tadi ada di wajah Bila langsung lenyap. Dia menatapku dalam diam.

"Lalu, gimana Mama sama Papa?"

"Itu yang sedang aku pikirkan."

Inilah yang membuatku ragu beberapa waktu ini, Mama dan Papa. Kalau kami tinggal di Jogja siapa yang akan menjaga mereka?

BilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang