Mulut Manis

3K 80 1
                                    

Wow... Bima masih belum percaya jika dirinya akan berkesempatan menjalin kerjasama dalam sebuah proyek lumayan besar. Dia bersyukur telah dipertemukan dengan kawan lama yang membuka jalan rezekinya. Anton mendirikan CV dan berperan sebagai perantara antara pihak klien dengan penyedia barang.

Bima tak menunda waktu untuk menyusun proposal dan surat penawaran berikut daftar harga untuk dikirim ke email Anton.

Sesampainya di rumah sore itu, Bima langsung bermesraan dengan laptop. Intan keheranan melihat jatah kerja suaminya diperpanjang hingga pulang ke rumah.

"Nggak salah nih, Mas? Tumben rajin banget megang laptop di rumah. Biasanya juga nyantai sambil leyeh-leyeh." Intan mengintip ke layar monitor laptop.

"Oh iya, aku lupa cerita sama kamu. Ini hasil ketemuanku dengan Anton tadi siang. Dia nawarin kerjasama pengadaan komputer dengan klien yang buka cabang perusahaan."

"Anton yang punya perusahaan atau gimana?"

"Enggak. Dia yang jadi perantara."

"Oh, macem makelar gitu ya?"

"Yah, bisa dibilang gitu. Aku ini pihak ketiga. Lha ini aku lagi nyusun draft penawaran untuk klien. Nanti dia yang handle urusan teknis dengan mereka. Aku tinggal ngadain barangnya."

Intan manggut-manggut meskipun masih sedikit ragu.

"Ambil barangnya lumayan besar ya Mas?"

"Untuk open kerjasama pertama aku ngadain 50 unit PC dan 20 laptop. Lumayan lah."

Intan menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan. "Katakanlah satu unit PC tiga juta, terus laptop lima jutaan, keluar modal berapa tuh?"

Bima menghitung kasar, "Yaah, lebih dari dua ratus jutaan."

"Nah, emangnya Mas punya modal segitu banyak?"

"Aku nyimpen beberapa puluh juta sih. Tapi biasanya kan kalau kita ambil dari suplier, bayarnya bisa pas jatuh tempo."

"Berarti Mas punya utang sama suplier dong ya?"

"Memang biasanya juga gitu. Bedanya kali ini dalam partai besar."

Intan merasa masih ada hal yang mengganjal namun tidak bisa diungkapkan. Dia justru penasaran dengan pria yang bernama Anton itu.

"Kira-kira Anton bisa dipercaya nggak Mas?" Ada nada skeptis dalam suaranya, meskipun mungkin karena dia yang terlalu lebay.

"Insyaallah bisa lah, Tan. Kalau kulihat tadi dia nggak banyak berubah kok, yaa kecuali berat badan." Bima nyengir jenaka. "Masak sih dia tega nipu kawan lamanya?"

Intan mengedikkan bahu dan memutar bola matanya. " Yaaah, siapa tahu, Mas, hare genee..."

"Sudahlah, Tan, jangan berpikir yang tidak-tidak. Semua usaha pasti ada risiko yang harus ditanggung. Hanya ada dua risiko kok, rugi atau untung. Yang penting kita ikuti prosedurnya dengan hati-hati."

Intan menghela napas berat. Sebenarnya dia masih ingin mendebat banyak hal. Namun melihat suaminya terlihat antusias menjalankan proyek ini, dia memutuskan untuk tutup mulut dan berusaha meredam kecemasan yang perlahan tumbuh.

"Kayaknya aku nggak cocok jadi istri pengusaha apa ya? Kok malah jadinya kepikiran gini sih, Mas?" Intan menyeringai lebar. Bima maklum jika istrinya terlalu khawatir, karena memang baru kali ini dia terlibat dalam proyek besar.

"Doain aja deh, Tan, semoga semuanya lancar. Demi masa depan kita yang lebih baik." Bima mengelus-elus kepala Intan yang duduk di sebelahnya.

"Aamiin, deh Mas."

Tiap Hari Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang