Reuni Putih Abu-Abu

3.8K 91 3
                                    

Hobi baru Intan akhir-akhir ini adalah uji coba resep-resep masakan hasil browsing Mbah Google. Wanita itu pantang menyerah meskipun hasil masakannya sering nggak jelas alias gagal total.

Seperti halnya sore ini sepulang kerja, dia ingin mengeksekusi schotel macaroni kukus. Alternatif selain dipanggang, karena oven menjadi wishlist barang yang dibeli selanjutnya.

Aroma lezat schotel menguar di udara, menerbitkan air liur Bima.

"Hmm, makan malam kita ya ini? Enak nih kayaknya," kata Bima menunjuk schotel yang dihidangkan istrinya di meja makan.

"Aku udah teliti banget baca resepnya, semoga kali ini berhasil," kata Intan menyeringai.

Bima menyuapkan sesendok penuh ke mulutnya. "Enak ini, Tan, bener!"

Intan tersenyum puas. Yeayy, berhasil, berhasil... Dia sudah memahami isyarat Bima terhadap hasil masakannya. Jika suaminya memuji berarti masakannya memang benar-benar enak, tapi jika diam saja berarti rasa masakannya kacau balau.

"Oh ya, Sayang, tadi aku dapat WA yang ngabarin besok Sabtu ada acara reuni SMU," kata Bima di sela-sela makan.

"Ooh, kita mau datang ke sana?" tanya Intan.

"Iya lah. Udah dua belasan tahun nggak ketemu mereka, kayaknya seru kalau ikutan."

Intan manggut-manggut. Berarti Sabtu ini mereka berkunjung ke Boyolali.

"Eh, Mas, sewaktu jaman SMU dulu kamu gimana?" tanya Intan dengan mata berbinar jenaka.

"Eeng, gimana yaa? Biasa banget deh, nggak ada yang istimewa. Sampai-sampai ditolak berkali-kali, jomblo sejati," kata Bima mengenang masa lalu.

"Paraah." Intan terkikik. "Bandel nggak?"

"Biasa lah, anak cowok pasti ada bandelnya. Dulu beberapa kali ketangkep satpam pas lompat pagar karena telat. Kadang juga bolos, malah nongkrong di warung pengkolan deket sekolah. Baca komik ketauan guru, terus disita, padahal komik pinjeman dari rental." Bima bercerita sembari terkekeh-kekeh. Kenakalan masa remaja yang tak kan pernah bisa diulang lagi.

Sabtu itu mereka datang tepat waktu ke acara reuni di sebuah rumah makan. Intan merasa terasing di antara gelak tawa sekumpulan orang. Di antara mereka dia hanya mengenal Andi, salah satu sahabat Bima yang ternyata sealumni SMU di Boyolali.

Rita, istri Andi, yang merasa senasib merapat pada Intan. Mereka berdua langsung akrab.

"Bim, istrimu yang mana?" tanya Sinta, salah satu teman Bima.

"Ini, kenalin namanya Intan."

Intan pun mengenalkan diri pada sekelompok orang di sekelilingnya.

"Anakmu udah berapa, Bim?" tanya Rustam.

"Belum ada, doain aja," jawab Bima netral.

"Lho, emangnya udah berapa kalian nikah?" tanya Dea, teman Bima yang lain, penasaran.

"Belum ada setahun," jawab Bima tenang. Tapi lain halnya dengan Intan yang merasa resah dengan pertanyaan itu.

"Dulu aku tiga bulan nikah udah langsung hamil, lho," kata Sinta.

Tuuh kan, mulai membanding-bandingkan. Nggak suka deh kalo begini, batin Intan tak nyaman. Rita melihat raut wajah Intan yang berubah masam, mengajaknya memisahkan diri dari kelompok.

"Kita ambil makanan yuk, Tan," kata Rita menggamit pergelangan tangan Intan, yang tanpa berpikir panjang langsung mengikuti.

"Huuff, untung ada kamu, Ta. Aku mati gaya di tengah kelompok itu," tutur Intan lega saat sudah bergerak menjauh.

"Iya, aku aja nggak nyaman dengernya, apalagi kamu," kata Rita menyeringai.

"Dulu kamu juga langsung hamil, Ta? Sorry, aku malah ikutan nanya," kata Intan yang tahu pasti jika Rita memiliki dua momongan, dan saat acara ini dititipkan sementara di rumah neneknya.

"Nggak juga sih. Aku nunggu kurang lebih setahun baru hamil anak pertama. Habis itu malah kesundulan hamil anak kedua," jawab Rita, "udaaah, nyante aja, Tan. Kalau udah waktunya dapet momongan, insyaallah hamil juga. Sama lah kayak jodoh, misteri Illahi."

"Iya, bener sih, Ta. Tapi kalo denger omongan nggak enak gitu rasanya juga mak jleb di hati," kata Intan lesu.

"Udah, ah, jangan terlalu dipikirin. Mendingan kita nikmati makanannya, lumayan enak-enak nih," kata Rita sembari tangannya sibuk mengambil aneka makanan yang menggugah selera.

Intan tersenyum simpul. Sudah bisa diduga sebelumnya jika di setiap acara reuni atau arisan, pasti ada pertanyaan usil semacam ini.
Biasanya ini nih daftar pertanyaannya :
Udah kerja di mana?
Hare gene masih jomblo? Kapan mau nikah?
Udah hamil belum? Udah cek kandungan, normal semua kan?
Anaknya berapa? Oh, baru satu. Kok nggak nambah lagi?
Lho, anaknya dua cewek semua/cowok semua? Coba deh nambah satu lagi.
dan seterusnya nggak habis-habis.

Antara pertanyaan kepo dan yang benar-benar perhatian itu beda tipis. Meskipun penanya tulus memberi perhatian, kadang-kadang (atau sering kali) orang yang ditanya merasa jengah karena semua daftar pertanyaan itu masuk ke ranah privacy.

Harusnya sih orang yang bijak cukup tahu diri membatasi pertanyaan kepada orang lain. Atau seandainya sudah terlanjur melontarkan pertanyaan dan lawan bicara terlihat enggan, janganlah diperpanjang. Cukup sampai di situ.

Bima terlihat menikmati acara reuni kali ini, dimana dia bisa bernostalgia kenangan manis semasa berseragam putih abu-abu.
Sedangkan Intan yang sudah terlanjur bete, masih mencari-cari hal menarik dari acara ini, selain tentu saja suguhan prasmanan yang lezat.

MC membuka suara untuk memusatkan perhatian para hadirin ke atas panggung.
"Ehem, perhatian semuanya. Adakah yang masih ingat beliau ini?" tanya MC seraya menghadirkan seorang perempuan separuh baya di atas panggung.

Seketika para alumni bersorak-sorai menyebutkan sebuah nama. "Mbak Yem!!!"

"Iyap, bener banget. Buat yang lupa, sekadar mengingatkan. Mbak Yem ini pemilik warung makan di pengkolan dekat sekolah yang sangat legendaris untuk anak-anak sekolahan. Kali ini terinspirasi dari status viral di sosmed beberapa waktu lalu yang menghadirkan pemilik warung tempat nongkrong di acara reuni. Hayoo, siapa yang pernah ambil gorengan Mbak Yem tiga ngakunya cuma satu? Siapa yang punya utang sama beliau?"

Spontan ruangan riuh rendah dengan suara para alumni yang teringat kenangan saat nongkrong di warung pengkolan. Banyak di antara mereka tertawa terbahak-bahak menyadari kenakalan masa lalu.

"Nah," kata MC melanjutkan, "seperti status sosmed yang cukup viral itu, sekarang waktunya kita membayar utang masa lalu kepada Mbak Yem. Hayoo, yang punya utang harap maju dan mengisi kotak kencleng."

Banyak para alumni yang didominasi kaum laki-laki, termasuk Bima, maju ke panggung untuk memasukkan uang ke kotak yang disediakan panitia.

Intan dan Rita terkikik geli menyaksikan suami-suami mereka pernah ngemplang atau tak mau bayar jajan semasa sekolah.

"Dasaar, suami kita ternyata anak bandel, Ta," seru Intan sambil geleng-geleng kepala.

"Haduuh, malu-maluin banget, untung anak-anak nggak pada ikut ke sini," sahut Rita menepuk-nepuk keningnya.

Dana yang terkumpul untuk Mbak Yem lumayan besar, hingga wanita itu pun menangis haru saat menerimanya dari panitia.

Begitu pula yang dirasakan oleh Intan. Mungkin inilah cara Tuhan membalas keikhlasan Mbak Yem selama bertahun-tahun melayani anak-anak sekolah yang bisa jadi uang sakunya pas-pasan.

Ah, inilah hal paling menarik yang ditunggu Intan sejak tadi. Reuni seharusnya sebagai ajang silaturahmi, bukan pamer diri apalagi bikin sakit hati. Akur, kaan?

Tiap Hari Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang