Berkah di Depan Mata

3.5K 95 5
                                    

Niar tergugu sesaat setelah menerima telepon dari seseorang. Wajahnya memucat, dan setitik air mata menggenang tanpa mampu dicegah.

Intan yang berseberangan meja dengannya langsung tahu ada yang tak beres sedang terjadi. Dia bergegas menghampiri rekan kerjanya itu.

"Kamu baik-baik aja, Ar?"

Niar menggeleng kuat-kuat lalu menyusut air mata yang terus mengalir deras.

"Niar?" bisik Intan merangkul pundaknya. Pasti ada sesuatu yang gawat sampai-sampai Nyonya Cuek ini menitikkan air mata.

"Apa ada sesuatu dengan Bapakmu?" desak Intan lembut. Beberapa kali Intan sempat bertemu bapak dan ibunya Niar dalam berbagai kesempatan. Dia juga tahu jika bapaknya Niar sakit-sakitan sejak lama karena komplikasi Diabetes mellitus.

"Bukan, Tan. Ibuku. Dia sehat, penuh semangat hidup, tapi tiba-tiba... dipundhut Gusti Allah." Suara Niar nyaris tertelan hembusan angin, namun cukup memberi pukulan telak untuk Intan.

Innalillahi wa inailaihi roji'uun...

Usia benar-benar misteri. Tak ada yang tahu kapan kita pergi. Tak harus menunggu sakit atau tua untuk kembali. Intan sungguh tak menyangka wanita yang masih energik di usia senja itu justru lebih dahulu menghadap Yang Kuasa daripada suaminya.

Tak ada yang bisa dilakukan Intan untuk mengurangi kepedihan temannya. Sebuah pelukan erat dia berikan untuk sekadar menguatkan.

"Mudah-mudahan beliau husnul khotimah. Aku antar kamu pulang sekarang, ya," kata Intan lirih. Tak terasa bulir air matanya mengaliri pipi.

Intan memboncengkan Niar pulang ke rumah orang tuanya di Sukoharjo. Sepanjang perjalanan yang tersisa tak ada satu pun berminat membuka percakapan. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Isak tangis yang mewarnai kepergian ibunda Niar secara mendadak, tanpa firasat dan pesan, meninggalkan duka mendalam bagi orang-orang yang pernah bersentuhan dengan beliau.

Bima segera datang menyusul istrinya di rumah duka. Begitu pula dengan rekan-rekan sekantor yang turut hadir dalam acara pemakaman yang dilangsungkan siang itu juga.

Beban berat masih terus menggelayuti mata Niar. "Ibu itu jarang ngeluh sakit. Sepanjang hidupnya diabdikan untuk mengurus Bapak dan anak-anak. Bahkan sampai sekarang aku belum bisa nyenengin dia. Masih sering ngrepotin dengan seringnya kutitipi anak-anak."

Intan dan Bima menyediakan telinga dan segenap perasaan untuk menyimak curahan hati Niar. Saat itu mereka bertiga memisahkan diri dari keramaian sepulang dari acara pemakaman.

"Aku sempat berselisih dengan Ibu, gara-gara dia menentang keras keputusanku yang akan menuntut cerai suami."

Pengakuan Niar kali ini membuat Intan terlonjak. Bagaimana mungkin Niar bisa menutup rapat-rapat masalah pelik rumah tangganya. Memang dari candaan Niar, tersirat hubungan kurang hangat dengan suaminya, namun tetap saja Intan tak mengira sejauh itu masalah yang dihadapi temannya ini.

"Niar?" Suara Intan tercekat di tenggorokan, karena tak mampu menemukan kata-kata yang pas.

"Hal itu kuanggap amanah dari Ibu. Aku hendak memperjuangkan kembali kebahagiaan rumah tanggaku. Aku nyesel belum sempat nyenengin Ibu," kata Niar mendesah pelan.

Menjelang petang, Intan dan Bima berpamitan. Pundak Niar berguncang-guncang saat Intan memeluknya.

"Sabar ya, Ar. Kamu wanita yang kuat, semoga bisa melewati semua cobaan ini."

Intan dan Bima pulang dengan motor masing-masing. Intan yang lebih dahulu sampai di rumah terheran-heran dengan jeda agak panjang kedatangan suaminya.

Suaminya tiba beberapa saat kemudian. Raut wajah tegangnya menghadirkan tanya di benak Intan.

"Kenapa, Mas?" selidik wanita ayu itu.

"Di tengah perjalanan tadi aku dapat telepon dari Boyolali. Bapak dilarikan ke rumah sakit," kata Bima gelisah.

Gusti Allah, berita duka beruntun begini...

Tanpa banyak cakap mereka bersiap-siap melakukan perjalanan kembali ke Boyolali. Ketegangan begitu kental di udara. Kerabat yang menelepon tadi tidak menyebutkan dengan jelas perihal sakit dan kondisi Bapak sekarang.

Insting 'pembalap' Bima keluar saat memacu motor di jalanan Solo-Boyolali. Kali ini Intan enggan memrotes kelakuan suaminya, karena dia sendiri pun menginginkan 'pintu ke mana saja Doraemon' tiba-tiba muncul di hadapan mereka.

Ruangan UGD rumah sakit yang cukup sesak dengan orang, tak menyulitkan mereka mencari keberadaan Bapak. Bima dan Intan tergopoh-gopoh menghampiri Ibu yang ditemani beberapa kerabat.

"Bu...," kata Bima dan Intan bergantian memeluk wanita paruh baya yang masih tampak terguncang itu.

"Gimana kondisi Bapak?" tanya Bima.

"Kata Dokter, udah stabil."

"Bapak kenapa, Bu?" Intan tak mampu menyembunyikan kekhawatiran.

"Sepeda Bapak ketabrak mobil sepulangnya dari sawah. Tabrak lari," jawab Ibu lirih.

"Astaghfirullah, tega banget..."

"Apa yang terluka, Bu?" tanya Bima.

"Sepedanya ringsek, tapi Alhamdulillah untunge Bapak masih selamat. Kepalanya terhantam aspal, tapi kata Pak Dokter nggak ada luka dalam, hanya tangan kanannya patah."

Dalam hati Intan tersenyum, kebiasaan orang daerahnya yang mengambil sisi positif dari setiap kemalangan, dengan memakai istilah 'untung'. Mungkin inilah cara kami menentramkan hati dengan bersikap nrimo.

Intan dan Bima menawarkan diri untuk menjaga Bapak malam itu, dan menyilakan Ibu pulang ke rumah diantar para kerabat. Namun Ibu bersikeras tak ingin sekejap pun meninggalkan Bapak.

Baru saja para kerabat beranjak hendak berpamitan, tiba-tiba Ibu tak sadarkan diri dan kontan membuat semua orang panik.

"Oalaah, Mbakyu... kok sampeyan malah jadi kayak gini to." Bulik Karni, sepupu Ibu, tersedu-sedan melihat Mbakyunya terkulai tak berdaya.

Dokter dan paramedis segera memberi penanganan di UGD. Wanita sepuh itu terindikasi kecapekan dan shock yang menyebabkan tekanan darah menurun drastis.

"Tan, tolong kamu bersama Lik Warno anter Ibu pulang biar bisa istirahat," pinta Bima kepada istrinya, setelah Ibu mulai siuman dan diperbolehkan Dokter untuk pulang. Intan yang turut prihatin dengan keadaan kedua mertuanya cepat-cepat menyanggupi permintaan suaminya.

Malam itu Intan tidur di depan kamar Ibu, dan sebentar-sebentar dia terjaga untuk mengecek kondisi Ibu yang masih lemah.

Intan menggigil saat membayangkan bagaimana kelak jika orang tua mereka lebih dulu menghadap pada yang menggenggam kehidupan. Hanya membayangkannya saja membuat separuh hatinya tercerabut.

Kita tak pernah tahu giliran siapa yang dikunjungi Izrail terlebih dahulu. Hingga waktunya tiba, kita hanya perlu menjalankan peran sebaik-baiknya, sebagai diri sendiri, anak, orang tua, maupun hamba-Nya.

Ibu mengerang lemah dalam tidurnya yang gelisah. Intan membelai tangan keriput itu, sesekali menggenggam lembut untuk menenangkan. Dia yakin suaminya pun segenap hati menjaga Bapak di rumah sakit.

Intan menatap wajah pucat ibu mertuanya.
Aku nyesel belum sempet nyenengin Ibu. Perkataan Niar tadi siang bergema di kepala Intan.

Dunia dan seisinya masih tak sanggup membalas kasih sayang orang tua kepada anaknya. Satu hal yang pasti, keberkahan hidup Intan dan Bima masih ada di depan mata, dan sungguh menyesal jika disia-siakan begitu saja.

Tiba-tiba hati Intan tersengat rindu mengingat Bapak dan Ibu di Karanganyar. Bapak, Ibu, I wanna hold your hand...

Tiap Hari Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang