Momen Horor

18K 124 3
                                    

Intan terbangun dengan perasaan malas, kalau orang Jawa bilangnya aras-arasen. Badannya loyo nggak ada semangat. Mungkin karena hari ini Senin setelah long weekend, dan Jumat kemarin hari libur nasional.

No... no... no... Intan bukan penganut I hate Monday. Ibunya berkali-kali mengingatkan jangan pernah membenci datangnya Senin. Bisa jadi di hari itulah berkah dan rezeki menghampiri kita. Intinya sih, jangan pernah membenci hari apa pun.

Bantal dan selimut seakan melambai-lambai memanggil Intan untuk kembali bergelung. Namun Intan memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur yang kali ini terasa lebih nyaman dari biasanya. Mungkin habis mandi bisa lebih seger...

Setelah mandi dan mematut diri di depan kaca, Intan menghampiri aroma sedap yang menguar dari dapur. Bima berbaik hati memasakkan nasi goreng sosis untuk sarapan mereka.

Tumben sekali, Intan sama sekali tak tertarik mencicipinya. Selera makan Intan merosot sampai titik nol. Padahal biasanya dia itu omnivora sejati alias pemakan segala macam makanan, nggak pernah pilih-pilih.

"Kamu nggak sarapan, Tan? Enak lho masakanku, nggak kalah sama masterchef," kata Bima seraya menyuapkan sesendok penuh nasi goreng ke mulutnya.

Intan mengedikkan bahu, "Lagi males."

Dia pun memilih menyeduh kopi susu dan menyesapnya perlahan.

"Tumben. Nggak lagi diet, kan?"

"Ngapain juga harus diet. Emangnya aku masih kurang langsing?" sahut Intan menaikkan intonasi suaranya.

Bima menggeleng cepat-cepat, khawatir istrinya salah paham dengan kelakarnya tadi.

"Rasanya kok nggak enak badan, ya, Mas."

"Minum obat," saran Bima praktis seraya menikmati nasi goreng buatannya.

"Kalau istrinya ngeluh itu diperhatikan, to, Mas. Kok cuek gitu, sih?"

Bima nyaris tersedak. Lho, kalau sakit ya minum obat. Emangnya ada yang salah, ya?

"Cuek gimana, sih? Udah dijawab gitu, kok."

"Mbok yo kalau dicurhatin istri itu bilang apa gitu yang menghibur. Atau malah mijitin sebentar. Masak cuma disuruh minum obat. Aku juga udah tau kalau itu."

"Lha, kenapa nggak langsung bilang minta pijit, Sayang?"

"Haaah, susah deh ngomong sama Mas Bima. Ayo, buruan dong makannya."

"Kita nggak berangkat sendiri-sendiri, to?"

"Kan aku lagi nggak enak badan, dianterin lah. Aduh, pengertian dikit dong, Mas."

Bima manggut-manggut sembari cepat-cepat menghabiskan sarapannya, supaya Intan nggak bertambah uring-uringan.

Seperti dugaan Intan sebelumnya, Senin ini adalah hari tersibuk untuknya. Oke, bukan hanya untuk Intan sih tepatnya, tapi seisi kantor.

Tumpukan pekerjaan yang tertunda minggu lalu harus segera diselesaikan. Telepon kantor terus berdering bersahutan. Biasanya dari klien yang mengajukan pemesanan atau sekadar menanyakan kemajuan pesanannya.

Kebetulan Intan yang bekerja di bagian administrasi harus pontang-panting mencocokkan pesanan klien dengan bagian operasional.

Huufft... kenapa semua klien harus menghubungi mereka hari ini, sih? Kayak nggak ada hari lain aja.

Kepala Intan terasa berdenyut-denyut. Mungkin karena dia tadi hanya sarapan secangkir kopi susu. Perutnya mulai menuntut segera diisi, padahal jarum jam belum menunjukkan waktu istirahat siang.

Tiap Hari Jatuh Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang