You and me

1.4K 178 13
                                    

"Gimana kalau kita duduk di sebelah sana?" Evan menunjuk kursi kosong di tengah taman.

"Kalian udah pada makan?" Tanya Viny.

"Barusan selesai kita," jawab Dio.

"Kamu udah makan?" Shani menatap Viny, yang ditatap menggelengkan kepala.

"Yaudah kita makan," dia menepuk tangan Viny di genggamannya tapi Viny menarik Shani mendekat, "Gak perlu, aku bisa makan nanti kok. Kita duduk aja."

"Tapi..."

Shani mencebik ketika Viny mencubit hidungnya saat dia hendak melayangkan protes.

"Aku bilang aku gapapa. Ayo, kita duduk aja."

Shani masih memanyunkan bibir saat duduk di sebelah Viny tapi cepat-cepat berhenti begitu Viny menatapnya intens lalu tersenyum dan berkata, "Bebeknya siapa sih ini imut banget?"

Itu membuatnya merona dan mencoba menutupi rasa malunya dengan cara mencubit lengan atas Viny.

"Aaaww," Viny berpura-pura kesakitan tapi memperlihatkan cengiran lebar.

"Kalian imut deh," Keenan bersuara dari ujung, akhirnya menjauhkan ponselnya setelah kekasihnya membalas pesannya dan mereka berbaikan.

"Udah berapa lama jadian?"

Pertanyaan itu membuat wajah Shani memerah seperti lobster dan cepat-cepat menjawab, "Kita nggak pacaran kok Kak..."

"Belum..." tambah Viny masih dengan cengirannya.

Jantung Shani menggila mendengar jawaban gadis itu dan hanya bisa menunduk menatap meja.

"Oke, stop godain mereka. Viny, apa aja kegiatan lo? Kuliah?" Dio mencoba membuat situasinya tidak begitu kikuk untuk si gadis yang sedang merona.

"Adalah ini itu," jawab Viny. "Gue sama temen gue punya toko skateboard di deket sini, gue kuliah malem. Gue kerja paruh waktu di pub dan cafe-cafe sebagai DJ dan bartender. Dan gue juga nge-design website."

"Wow, keren amat," ucap Keenan kagum.

"Intinya sih kerja apa aja buat biaya hidup."

"Orangtua lo?"

"Gak pernah kenal bokap. Nyokap masih ada tapi beliau udah punya beban sendiri, gak perlu lah gue tambahin."

"Lo masih tinggal sama nyokap?"

"Engga," Viny menggeleng. "Gue udah lama banget mulai hidup mandiri. Jarak rumah gue ke toko cuma dua gedung. Apartemen kecil, tapi cukuplah kalo untuk sendirian."

Shani mematap gadis yang sudah mencuri hatinya itu, mendengarkannya bercerita. Selain nama, dia tidak tahu apapun tentang gadis itu. Dia kagum betapa mudah bergaulnya seorang Viny dan dapat berbaur dengan mudah, Shani sendiri lebih sering mendengarkan.

Gracia melirik jam tangannya, "Udah jam 7.30, kita masih bisa nonton kalau kalian mau."

"Kalian nonton aja. Gue harus kerja jam 9," ucap Viny dengan berat hati.

Gadis berambut pendek itu memaksa tersenyum saat dia berkata, "Have fun," pada Shani sambil meremas tangannya lembut.

"K-Kalian keberatan gak kalau aku gak ikut nonton dan tetep disini sama Viny?" Suara Shani hampir tidak terdengar.

"Apa? Gak kedengeran," Gracia menatap temannya.

Shani memberanikan diri dan berkata, "Aku mau tetep disini sama Viny."

"Oh..." Gracia melirik gadis yang baru saja ditemuinya, melihat bagaimana senyum Viny mengembang setelah mendengar jawaban Shani, dia berubah pikiran dan berkata, "Kayaknya kita batalin aja nontonnya dan tetep disini."

"Gak perlu. Gapapa kalian nonton aja."

"Kita pergi ke tempat lain aja. Lagian juga kayaknya gak ada film yang menarik," Gracia bersikeras.

"Apaan gak ada yang menarik, kemarin kan lo sms gue bilang gak sabar mau nonton spiderman?" Surya memegang tangan gadis itu dan memaksanya untuk berdiri.

"Hah? Aku aja gak suka spiderman," Gracia memprotes walaupun akhirnya tetap ditarik oleh para lelaki itu.

"Jangan jadi obat nyamuk, kenapa!" Surya mendesis padanya, "Lo gak bisa liat mereka pengen berduaan?"

"Tapi..."

"Gak ada tapi-tapian!" Surya menarik temannya itu lalu berteriak, "Dah Shani! Dah Viny! Kalian have fun ya."

"Nanti aku telpon ya!" Ucap Gracia, "Pulangnya jangan malem-malem. Inget kamu jam 10 udah harus ada di rumah!"

Shani melambai pada temannya, "Jangan khawatir, aku tau kok. Dah, Gre."

"Dah, Shani. Hati-hati."

Setelah hanya tersisa mereka berdua, Viny menggenggam tangan Shani, menatap gadis itu dengan mata memohon, "Boleh kita beli makan sekarang? Gue laper."

Shani tertawa geli melihat Viny yang seperti anak kucing terlantar dan mengangguk. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju toko burger, dimana Viny membeli extra large burger dan french fries. Shani menggeleng saat Viny bertanya apa dia mau memesan sesuatu. Setelah viny selesai makan, mereka berjalan menuju toko bubble tea dan masing-masing membeli satu. Viny dengan senang hati menyeruput bubble tea-nya, berkata pada Shani dirinya bisa hidup hanya dengan bubble tea saja.

"Udah jam 8.30," ucap Shani sambil melihat jam tangannya, "Kamu gak mau siap-siap kerja?"

Viny mengangguk, "Gue tungguin sampai mereka ngejemput lo."

"Gak perlu, aku gak mau kamu terlambat kerjanya."

"Masih ada waktu kok."

Shani menghubungi rumah dan meminta untuk dijemput. Para pengawalnya berkata mereka akan sampai di tempat biasa dalam waktu 15 menit.

Viny tersenyum padanya saat gadis itu memutus sambungan, "Ayo."

Masih dengan jemari saling bertautan mereka berjalan dalam diam menuju taman. Mereka duduk di kursi yang dinaungi pohon, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Shan..."

"Ya?"

Viny menatap lurus pada iris Shani, membuat jantung gadis yang lebih muda itu berdebar kencang.

"Kenapa?" Ucap Shani, mencoba mengurangi atmosphere yang berat di sekitar mereka.

"Aku suka banget sama kamu," adalah kalimat yang keluar dari mulut Viny.

Shani dapat merasakan telinganya memanas, dia berusaha keras untuk tidak melompat kegirangan dan malahan dia mengumpulkan keberaniannya dan menjawab dengan lirih, menghindari tatapan Viny, "Aku juga suka banget sama kamu."

Viny meletakan jemarinya pada dagu Shani, dengan lembut memaksa gadis itu untuk menatapnya. Dia menangkup pipi gadis itu, membelainya lembut sebelum berkata, "Kamu mau jadi pacarku, Shan?"

Gadis yang lebih muda itu mengangguk malu.

Bibir Viny melengkungkan senyum dan Shani merasa seperti  akan pingsan saat Viny bergerak mendekat. Pikirannya bercampur aduk antara greget, senang, dan takut ketika terbersit ini akan menjadi ciuman pertamanya. Shani memejamkan mata saat merasakan napas Viny menyapu wajahnya dan perlahan menutup mata, bersiap untuk merasakan bibir Viny bertemu dengan bibirnya. Ciuman pertamanya.

Tapi bukannya bibir, ciuman Viny mendarat di keningnya. Rasanya begitu... indah. Entah mengapa rasanya ciuman itu sangat tepat untuk momen ini. Setelahnya Viny menarik gadis itu kedalam pelukannya, "Hai, pacar," dia berbisik di telinganya dan mengusap rambutnya. Shani tersenyum, dia merasa aman dalam dekapan Viny, dia melingkarkan tangannya di tubuh Viny. Mereka tetap seperti itu selama beberapa saat sampai Shani melihat sebuah mobil hitam mendekat dan dengan lembut dia melepaskan pelukan Viny. "Mereka udah disini. Pergi gih. Jangan sampai telat kerjanya."

Viny mengangguk. Dia berdiri dan berkata, "Bye."

"Bye, Viny."

Sama seperti terakhir kali mereka bertemu, Viny kembali dan mengecup pipi Shani, "Goodnight, Indira."

V for VendettaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang