ELLE'S POV
Kepalaku terasa amat berat, perlahan kubuka kedua mataku. Nyeri kurasa pada tangan kananku, dimana aku?
"Adam..."
Kulihat tirai putih di sisi kananku, kamar yang cukup luas dengan furniture modern dan serba simple.
"Elle? Kamu udah siuman?"
Kulihat Adam, bukan Adam anakku. Ia tampak cemas, keningnya mengkerut, menatapku lekat-lekat.
"Adam, dimana Adam?" mataku menyapu sekeliling ruangan. "Jangan ambil Adam dariku, aku mohon..."
Tak dapat kutahan air mata kembali menetes di pipiku. Tak dapat kubayangkan hidupku tanpa menyaksikan perkembangan hidup anakku disisiku.
"Adam.. Jawab aku."
"Elle, Adam baik-baik aja.. Dia lagi sama Mamaku di rumah. Aku nggak mau dia kecapekan nunggu kamu disini."
"Ada apa dengan aku?"
Kulihat jarum infus di tangan kananku. Apa yang terjadi sebenarnya.
"Kamu kena demam berdarah Elle, trombosit kamu rendah banget. Dokter aja kaget banget kamu bisa bertahan nggak ke dokter dengan kondisi tubuh kamu saat pingsan tadi."
Adam berbicara tanpa menoleh padaku sedikitpun. Matanya terus mengelilingi ruanganku. Tanpa mampir memandangku sedikitpun.
"Maaf aku ngerepotin kamu."
"Kenapa Elle? Kenapa kamu nggak pernah perhatian sama kondisi tubuh kamu sendiri?"
"Itu bukan urusan kamu."
"ITU URUSAN AKU ELLE!"
Adam memukul tembok rumah sakit dengan sangat kencang. Rambutnya terlihat acak-acakan, begitu juga dengan pakaiannya. Sudah berapa lama ia menemaniku disini? Tapi, kenapa dia jadi marah-marah padaku?
"Adam, ini rumah sakit. Aku bukannya nggak perhatian sama tubuh aku sendiri, tapi seluruh perhatianku ada di anakku. Aku nggak mau dia kekurangan satu apapun, aku mau dia bangga punya orangtua sepertiku. Aku nggak mau dia merasa kekurangan Adam."
"Elle, Adam selalu bangga sama kamu. Kamu nggak usah khawatirin itu. Dia nangis waktu ngeliat kamu pingsan, dia berkali-kali nanya ke aku apa kamu akan bangun, Adam sangat mencintai kamu, Elle."
Lagi-lagi aku menangis.
"Tapi kamu nggak bisa selamanya hidup kaya gini, Elle. Kamu harus terima kenyataan bahwa kamu nggak bisa membesarkan Adam sendirian."
"Aku bisa! Adam... Jangan rebut Adam dariku, apapun yang kamu minta, apapun yang kamu mau dariku, akan kulakuin asal kamu nggak ngerebut Adam dariku."
"Adam udah tau siapa aku."
"APA?"
"Aku udah jelasin semuanya. Dan karena kamu bilang ayahnya lagi di luar negri untuk urusan kerja, maka itu aku bilang kalo aku udah pulang." Adam menatapku. "Dia seneng banget, dia manggil aku Pop berkali-kali, sebanyak yang dia bisa. Dia cium-cium pipiku, meluk aku, dan dia bilang, dia nggak mau pisah lagi dariku."
"Adam.. Nggak mau pisah dari kamu?" aku tertawa kecil. "Jelas, karena dia selalu membanggakan sosok seorang Ayah. Dan sekarang.. Di saat Adam udah tau semuanya, kalo dia emang mau tinggal sama kamu, ya udah.. Asal dia bahagia.."
"Kamu dan Adam pindah ke rumahku."
Mataku terbelalak. Apa aku tidak salah dengar?
"Adam suka banget dengan kamar barunya, dan aku harap kamu nggak keberatan dengan keputusanku ini."
"Jelas aku keberatan! Kenapa kamu harus ambil keputusan sebesar ini di depan Adam tanpa bicara dulu sama aku!"
"Elle, demi kebaikan Adam."
Aku memutar balik tubuhku, aku tidak dapat menatap pria gila ini lagi.
"Nyonya Pradamar,"
Kudengar suara suster memasuki kamarku. Dan apa-apaan ini, bahkan sekarang namaku sudah berubah menjadi Nyonya Pradamar?
"Waktunya minum obat." ucap suster itu lagi.
"Kapan dokternya visit, Sus?" tanya Adam.
"Nanti malam, Pak. Biasanya sekitar pukul tujuh."
Suster itu keluar dari kamarku setelah memastikan aku meminum obat yang telah ia siapkan.
Adam masih belum beranjak, disisiku.
"Adam, tolong pindahin aku ke kamar yang kelas satu aja."
"Apa kamu bilang?"
Kenapa Adam selalu minta penjelasan.
"Tahun depan, Adam masuk tk, dan aku lagi nabung buat biayanya. Aku nggak mau uangku kebuang cuma karena aku nginep di kamar nomor satu rumah sakit ini"
Adam menatapku dengan.... Aneh?
"Apa kamu nggak denger apa yang aku bicarain dari tadi? Adam dan kamu pindah ke rumahku, otomatis kebutuhan Adam menjadi tanggungjawabku."
Kebutuhan Adam, bukan kebutuhanku. Adam tidak pernah mencintaiku, ia hanya menginginkan anak kami.
"Adam, kamu nggak perlu ngelakuin ini semua. aku masih sanggup."
"Apanya yang kamu sanggup Elle? Kamu hidup tanpa satu saudara pun, semua kebutuhan Adam, kamu penuhin sendirian. Bahkan sampe kamu sakit separah ini, kamu seolah nggak ada apa-apa. Apa kamu tau akibatnya Elle," Adam mendekatiku. "Apa kamu tau akibatnya kalo demam berdarah nggak ditanganin langsung oleh dokter? Meninggal Elle, MENINGGAL!"
Adam meraih wajahku dalam kedua tangannya,
"Selama empat tahun aku nyari kamu, dan kamu tau apa yang akan terjadi sama aku kalo sampe aku nemuin kamu meninggal? aku bisa gila, Elle."
Saat itu juga kurasakan Adam kembali mengecup bibirku. Kali ini dengan lembut. Seolah dunia berhenti berputar, aku tidak dapat berpikir, aku terlalu merindukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OURS
RomancePesta, minum-minum dan... Elle berusaha mengingatnya, beberapa kali ia mengerjapkan kedua matanya, namun yang ia rasakan hanya sakit di bagian kepalanya. Elle menyenderkan tubuhnya selagi ia membetulkan selimut yang menutupi seluruh bagian tubuhnya...