Amar menyantap makan siangnya dengan lahap seperti biasa ditemani Ramzi yang siang ini sedang asik-asiknya membicarakan Priska. Karyawan Dwilingga yang kemarin sore mendapatkan pertolongan dari Ramzi saat ban motor wanita itu bocor dipinggir jalan beberapa ratus meter dari gedung perkantoran. Amar tak banyak berkomentar saat Ramzi dengan terang-terangan meminta nomor ponsel Priska. ternyata selama ini Ramzi mengincar Priska karena selain cantik Priska juga orangnya asik diajak ngobrol.
Obrolan tentang Priska dan curhatan Ramzi tentang ketertarikannya sama sekali tidak bisa merubah mood Amar yang hancur. Sejak mengantar Zifah pulang kemarin malam Amar belum juga berani menghubungi wanita itu baik via chat apalagi sampai menelpon. Ditambah hari ini ia tahu dari Ramzi kalau Zifah tidak masuk ke kantor karena pulang kampung. Amar makin lesu dibuatnya.
"Itu ikan udah abis dagingnya mau lo korek apalagi?" pertanyaan menyindir Ramzi menyadarkan Amar bahwa piringnya yang berisi lauk pauk sudah kosong karena isinya kini pindah ke perutnya.
"Berisik, ayo cabut gue masih ada meeting sama Dwilingga abis makan siang." sahut Amar yang lalu bangkit dari posisinya. Ia membakar rokoknya sembari berjalan menuju gedung.
"Lo kenapa sih? Anak Finance atau anak sales yang bikin lo empet?" tanya Ramzi. Amar menghembuskan asap dari rokok yang dihisapnya.
"Nggak ada, mereka lagi pada anteng, tumben."
"Ya trus kenapa bos daritadi manyun aja?"
Amar menggelengkan kepalanya, "Menurut lo salah nggak kalau ngajak bertemen sama cewek yang mau lo gebet?" tanya Amar asal tapi tak disangka membuat Ramzi berhenti melangkah.
"Lo pedekate sama siapa?" tanya Ramzi menyelidik.
"Gue cuma berandai."
"Lo pikir gue percaya?"
Amar tak mau terpancing jadi ia memilih tetap berjalan sambil menghisap rokoknya. Ramzi menyusul langkah Amar yang lebar.
"Serius, bos, lo pedekate sama siapa? Zifah?"
Langkah Amar seketika terhenti. Ramzi yang melihat Amar berhenti menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Serius sama Zifah?" tanya Ramzi dengan suara hampir senyaring toa masjid.
"Bacot, bro." sewot Amar lalu menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum membuang puntungnya di tempat sampah depan lobi.
"Sorry, Bos, tapi serius lo beneran sama Zifah?" tanya Ramzi yang menyebutkan nama Zifah dengan bisikan. Amar berdiri menunggu lift dengan tangan bersedekap.
"Emangnya kenapa kalau gue sama dia?" tanya Amar tanpa mengalihkan pandangannya.
"Lo bisa digorok sama cowok satu gedung, bos."
Amar menoleh ke arah Ramzi dengan alis berkerut, "Maksudnya?"
"Fansnya Zifah banyak,bos."
"Fans? yaelah gue pikir apaan, kalau dia udah dilamar baru gue ambil pusing."
"Tapi semua fansnya Zifah ada disarang lo, bos." informasi yang Ramzi berikan merujuk pada anak buah di divisi yang Amar pimpin.
"Bangke... tau aja kalian yang bening dan sholehah."
"Tapi kalo saingannya sama Bos, kita ngalah dah."
Baru Amar ingin menyahut saat satu dari empat lift pun terbuka. Amar dan Ramzi masuk ke dalamnya.
"Nggak usah, biar gue kerja keras kalo ada saingannya." sahut Amar terdengar sombong. Ramzi melirik keki.
"Saingan terberat lo bukan anak buah bos, tapi Bosnya si Zifah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Unconfident Love
ChickLitZifah betah menjomblo sedangkan Amar terpaksa menjomblo. Zifah yang sulit percaya orang lain sedangkan Amar yang begitu percaya pada siapa saja. Zifah yang rumit dengan dramanya sedangkan Amar yang bertumpu para realitanya. Zifah yang menolak dilam...