#7

2.8K 331 21
                                    


Pagi-pagi sekali Zifah sudah bangun dan bersiap untuk berangkat ke Bandung. Zifah memilih menggunakan kereta sebagai alat transportasinya. Ia tak mau menyetir sendirian ke Bandung dengan resiko bisa mengantuk di tengah perjalanan. Perjalanan menggunakan mobil ke Bandung juga melelahkan walaupun hari Jumat tapi resiko untuk terkena macet juga tak terelakkan.

Zifah membawa 1 travel bag yang berisi pakaian dan beberapa kado yang ia siapkan untuk 7 keponakan yang sudah ia miliki. Termasuk dari kakaknya -Naufal yang akan menyelenggarakan acara akikahan anak keduanya besok.

"Udah mau jalan, Nek?" tanya Visha yang sepertinya terbangun saat Zifah sibuk di dapur membuat bekal seadanya untuk diperjalanan.

"Udah, gue naik Uber aja ke Gambir."

"Gue anter aja, mau nggak?"

"Ogah, lo aja baru bangun, ntar dijalan kena angin AC dikit lo molor." Tolak Zifah mentah-mentah.

Masalahnya kebiasaan Visha yang susah bangun pagi itu kadang bikin Zifah kena imbasnya. Selain karena Zifah adalah driver sejati sahabatnya yang mau tak mau kadang mengikut sertakan Zifah saat harus terlambat ke kantor.

"Ya udah, lo ati-ati, kasih kabar kalau udah sampe Gambir, ok." Ujar Visha lalu ngeloyor masuk ke kamar mandi. Zifah menutup resleting ransel yang ia kenakan hari ini. Setelah itu memesan Uber sambil menikmati sarapan ala kadarnya. Yakni roti dengan selai kacang favoritnya.

Perjalanan Jakarta ke Bandung menggunakan kereta memakan waktu kurang lebih 3 jam. Selama perjalanan Zifah tertidur pulas karena semalam ia harus lembur sebelum menyerahkan tugasnya pada Pak Restu, atasannya.

Zifah menuju pintu keluar dengan ransel dan travel bagnya. Tangan kanannya sibuk membalas pesan dari Naufal yang hari ini berinisiatis menjemputnya. Padahal pekerjaannya sebagai Chief Editor di sebuah kantor Penerbit Besar di Bandung lumayan padat. Zifah sempat bertanya kenapa bukan Nawis kakaknya yang punya usaha Rumah Makan yang menjemputnya. Alasannya karena Zifah sudah susah payah pulang ke Bandung untuk anaknya. Naufal memang kakaknya yang paling sweet.

"Aa!!"

Panggil Zifah saat melihat Naufal yang berdiri di pintu masuk stasiun dengan tangan sibuk mengutak-atik ponselnya. Naufal menangkap keberadaan Zifah dan bergegas menghampiri.

"Neng, capek?" tanya Naufal dengan tangannya cekatan mengambil alih bawaan Zifah.

"Nggak kok A'. Neng tadi tidur di kereta." Jawab Zifah.

"Ya udah bagus, soalnya Ibu pasti minta Neng bantuin di dapur, Kak Rahmah lagi nggak enak badan, Mbakmu juga sibuk sama baby Abizar di rumah." Naufal menjelaskan pada Zifah tentang Kak Rahmah, istri dari Nawis yang memang paling jago masak dan bikin kue. Sedangkan 'Mbak' adalah panggilan Zifah untuk istri Naufal yang bernama Metha.

Zifah melirik Naufal keki, "Neng udah tahu, pasti pulang jadi mbok di rumah, bantu-bantu Ibu."

"Jangan gitu dong, Neng, nggak ikhlas ya bantuin acara Aa'?"

Zifah lupa kalau Naufal adalah kakaknya yang sweet sekaligus yang paling sensitif. "Ya ... Maaf. Tenang aja, teknik memasak neng udah meningkat kok, awas aja bilang masakan neng nggak enak."

Naufal tersenyum lalu membelai kepala Zifah yang ditutupi jilbab warna pink bermotif abstrak. Zifah pun tersenyum karena kakaknya tak pernah meninggalkan kebiasaan membelai kepalanya. Mungkin Naufal dan ketiga kakaknya yang lain masih menganggap Zifah adalah bayi kecil mereka. Karena Zifah adalah harapan terakhir sang Ibu yang menginginkan seorang anak perempuan di kehamilannya yang kelima. Doa itu tak hanya dari Ibunya. Keempat anaknya yang lain pun ikut mendoakan jika jabang bayi yang dikandung Ibunya adalah bayi perempuan. Maka saat Zifah lahir seluruh keluarga senang bukan main, termasuk ke empat kakaknya.

Unconfident LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang