#4

1.9K 319 18
                                    

Zifah keluar dari mobilnya, menguncinya, lalu memanggil security untuk di data sebagai kendaraan yang menginap di gedung. Amar membimbing Zifah menuju mobilnya yang Zifah kenali sejak pria itu mengganti Inova hitam lama yang menemani pria itu sejak pertama kali Zifah kenal.

"Saya penasaran kemana mobil hitam Pak Amar yang dulu?" tanya Zifah memecahkan kesunyian. Mobil Amar berjalan lancar karena mereka cukup beruntung jalanan sore ini bersahabat. Hanya ramai lancar saja.

"Dikembalikan ke pemiliknya," jawab Amar.

Zifah bisa melihat bagaimana pria itu menggulung kemeja biru tua yang dikenakannya memperlihatkan lengannya yang kata Marisa glendot-able itu. Sumpah! Zifah beneran punya niat nge-glendot di lengan itu sekarang.

Astaghfirullah.

"Pemiliknya?"

"Abah saya."

Abah itu ayah. Zifah tahu karena 'A Najid minta dipanggil dengan panggilan itu sewaktu anak pertamanya lahir.

"Saya kembalikan karena alhamdulillah saya mampu beli sekarang, Abah saya senang bukan main. Dulu minjemin ke saya karena Abah udah nggak pake, alasannya supaya saya nggak punya alasan untuk nggak pulang ke Bandung." Jelas Amar. Zifah tersenyum mendengar Amar yang terlihat nyaman dengannya. Terlihat dari kata-kata yang pria itu keluarkan. Zifah sekarang tidak bisa menghitung lagi sudah berapa kosakata yang pria itu lontarkan.

Tapi tunggu! Bandung dia bilang?

"Pak Amar orang Bandung?" tanya Zifah hati-hati. Amar membelokkan mobilnya ke kiri.

"Umi saya yang asli Bandung, saya lahir dan besar di Bandung," jelas Amar. Itu yang menjelaskan darimana Amar mendapatkan kulit putih bersih itu.

Zifah bimbang antara memberitahunya atau tidak kalau nyatanya dia pun asli Bandung. Mobil Amar terus membelah jalan Jakarta dan sepanjang sisa perjalanan Zifah memilih untuk memainkan ponselnya sambil memeriksa email kantor yang harus dibalas.

"Habis ini kita belok kemana, Bu?" tanya Amar setelah melewati Senen dan masuk ke Jalan Cempaka Putih.

"Panggil Zifah aja."

Ucapan Zifah membuat Amar menoleh sebentar ke arah Zifah, "Amar saja kalau gitu."

"Depan puter balik ya, nggak jauh nanti ada jalan di sebelah kiri, masuk trus nanti gang ketiga belok kanan." Amar mengikuti instruksi Zifah yang memutar balik kemudinya. Zifah melihat bagaimana Amar begitu percaya diri dan tenang dalam berkendara. Persis seperti Nizham.

"Setelah ini?"

"Ambil kanan terus nanti rumah nomor lima sebelah kanan pagar hijau." Amar mengikuti intruksi Zifah cepat sampai Zifah merasa menyesal kenapa tidak mengajak pria itu jalan-jalan dulu.

"Sampai." Ujar Zifah saat mobil Amar sampai di depan kontrakannya.

Rumah dua kamar dengan halaman yang dipenuhi oleh pot-pot bunga hasil dari hobi Zifah yaitu gemar berkebun. Melihat lampu rumah yang sudah menyala dan ada motor milik Bowo menandakan Visha sudah sampai rumah.

"Pa- Eum ... maksud saya Amar, sudah magrib. Mau shalat dulu sebelum pulang? Saya nggak enak sudah buat kamu nganter saya dulu padahal harusnya kamu udah sampe daritadi."

Zifah memberanikan diri mengajak Amar karena ia tahu ada Visha di dalam rumah. Dan melihat jarak dari Cempaka Putih ke Cawang yang jalurnya lumayan padat di jam ini, Zifah takut pria itu tidak bisa menunaikan ibadah karena harus stuck di jalan.

Unconfident LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang