#Tiga

594 80 12
                                    

Kim Hwa Young

"Kau itu bodoh atau idiot yang kebetulan pintar sih?"

"Yang mana saja, Yoonji. Terserah."

Terdengar helaan napas yang sengaja dikeraskan di sana. Sebelum aku sempat melontarkan alasan yang melibatkan sedikit logika dan banyak perasaan –bahkan mungkin 100 persen perasaan, Yoonji berteriak sekencang mungkin.

"Pabo! Pabo! SILAHKAN MAKAN RAMYUN TIAP HARI SEBULAN PENUH!!!"

Aku menjauhkan telingaku dari telpon sebelum muncul bunyi denging tahap lanjut. Bahkan anjing orang yang barusan kulewati rumahnya seketika menggonggong garang padaku. Aku cepat-cepat saja menjauh sebelum dikira maling berkedok gelandangan.

"Baiklah maaf," cicitku.

Yoonji menurunkan kadar radangnya sedikit, "Maaf, maaf, hobi sekali sih kamu berkata maaf? Itu saja yang ada di kamusmu?"

Ia menghela napasnya lagi. "Baiklah, Hwa Young, aku mengerti –sangat mengerti akan hati kecilmu yang merasa iba pada mereka. Tapi kau juga harus melihat dirimu sendiri. Kau ini plegmatis tingkat dewa ya. Naikkan sedikit kadar korelismu, dong"

Yoonji melanjutkan, dengan nada lebih tenang lagi, "Aku akan mengirimu uang, gunakan dengan hemat –kau sedang ada di mana ngomong-ngomong? Bising sekali."

Aku berhenti, sebelah tangan spontan menutup microfon ponsel. "Oh, tentu saja di taksi. Uangku masih cukup untuk ini. Jendelanya kubuka jadinya bising."

Taksi apanya. Yang ada aku berdiri di pinggiran pedestrian jalan kota Seoul. Hawa malam ini semakin menusuk-nusuk leherku yang terekspos jelas. Sialnya lagi, aku lupa harus lewat mana. Aku bahkan sama sekali belum menyentuh setengah perjalanan. Untungnya Tuhan masih memberiku sepasang kaki yang kuat berjalan beberapa kilometer lagi.

Yoonji tanpa menaruh curiga sidikitpun mendengus, "Dasar aneh."

"Oke, ingat ya, kali ini aku masih bisa membantumu, tapi aku tidak tahu apa yang terjadi besok. Tidak ada manusia baik hati di dunia ini. Yang ada manusia yang sedang dalam mood baik. Jadi jangan menganggap siapapun remeh, kau sedang di hutan belantara sekarang. Kebetulan namanya Seoul," nasihatnya. Aku hanya mengangguk saja, namun karena ini lewat telepon, jadi sembari kuiyakan.

"Terimakasih Yoonji-ah... dan aku pasti akan mengganti uangmu," aku menyeret koperku kembali. "Tolong jangan mengatakan apapun pada Dongjun oppa, oke? Bisa-bisa dia nekat membawaku pulang saat ini juga."

"Kali ini saja ya," balasnya dingin. "Lain kali kau tidak sekedar dibawa pulang, tapi diseret. Bye."

Tut, tut, tut.

Boleh aku kesal dan membanting ponselku sekarang juga? Aish jinja.

.

.

.

Hembusan udara musim dingin di Seoul menuntun langkah agar cepat-cepat memasuki gedung alamat baruku. Flat ini hanya memiliki empat lantai, bukanlah flat yang besar. Jauh dari kata itu –lebih tepatnya sederhana juga terbatas. Untungnya dengan penataan minimalis setidaknya bisa menghindari claustropobhia-ku kambuh.

Aku telah memilah tempat yang paling murah dan dekat dengan kantor Big Hit, tentu saja lewat online. Semuanya telah aku persiapkan, terhitung sejak surat penerimaan dari Big Hit sampai di alamat emailku. Aku benar-benar sibuk seharian kemarin.

Flat ini hanya dua puluh satu meter persegi, hanya ada satu sekat pembatas kamar mandi. Sepetak kitchen set, lalu naik satu anak tangga ke ruangan serbaguna. Kosong, menyisakan meja makan kecil dan space meja belajar di sudut ruang; aku akan makan, tidur, dan belajar di sini.

DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang